www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, Surabaya-Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) menggelar Webinar dengan tema “Membedah Masa Depan Pengguna Alat Bantu Dengar dan Cochlear Implant” pada Sabtu (27/3/2021). Acara tersebut digelar untuk memperingati Hari Pendengaran Sedunia atau World Hearing Day 2021 yang jatuh pada 3 Maret 2021.
Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp. T.H.T.K.L.(K), FICS, FICSM, sebagai pembicara dalam kesempatan itu menyampaikan materi tentang penggunaan Alat Bantu Dengar (ABD) dengan teknologi terkini yang semakin berkembang dan mempunyai banyak kelebihan, di antaranya suara lebih jelas dan jernih, ukuran makin kecil dan hampir tidak terlihat, bisa disambungkan ke handphone serta terdapat prosesor guna memproses pembicaraan.
"Di Indonesia sendiri, ABD banyak dijual bebas di pasaran tanpa ada pemeriksaan yang baik, sehingga menyebabkan penggunaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Untuk hasil yang maksimal, sebaiknya membeli ABD setelah melakukan pemeriksaan di dokter spesialis THT," terang dosen Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga itu.
Selain menggunakan ABD, dokter spesialis THT sekaligus konsultan THT di RSUD Dr. Soetomo ini, mengungkapkan penderita gangguan pendengaran berat atau tuli dapat melakukan implan koklea atau biasa disebut Cochlear Implant (CI) dengan cara memasang alat elektronik khusus pada telinga. "Berbeda dengan ABD, pelayanan pemasangan implan koklea di Indonesia masih sedikit, hanya di beberapa Rumah Sakit tertentu saja. Di Surabaya sendiri dapat dilakukan di RSUD Dr. Soetomo, RSAL Dr. Raeslan dan RS PHC," tukasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Budiyanto, M.Pd., menyampaikan implikasi penggunaan ABD atau CI bagi penderita gangguan pendengaran dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu secara personal, pendidikan dan pekerjaan. Dalam bidang pendidikan, Ketua Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Unesa itu mengatakan bahwa penderita gangguan pendengaran mempunyai hak yang sama serta perhatian khusus dalam menempuh pendidikan. "Sebelumnya perlu mengenali aspek tingkat hambatan dan potensi intelektual anak guna memudahkan penempatan pendidikan antara sekolah umum atau sekolah khusus. Ditambah lagi perlu memperhatikan dukungan sistem, karena lembaga yang harus menyesuaikan kebutuhan anak," terangnya.
Selain mengadakan webinar, Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Negeri Surabaya juga bekerja sama dengan Yayasan Aurica menggelar Talkshow pada Sabtu (27/3). Kegiatan yang berlangsung secara virtual itu menghadirkan profesional muda pengguna ABD atau CI untuk berbagi kisah inspiratif dalam menjawab tantangan di dunia pendidikan dan pekerjaan.
Grace Kurnaidi, M. Psi., yang saat ini bekerja di sebuah platform konsultasi menceritakan pengalamannya selama menempuh pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga magister. Ia menuturkan, menggunakan ABD sejak kecil dan menempuh pendidikan di sekolah umum bukan hal yang mudah, tetapi terdapat banyak tantangan. "Ketika dosen menyampaikan materi secara cepat dan berada di belakang biasanya saya mengalamai kesulitan mendengar. Biasanya saya bertanya kembali kepada dosen atau bertanya kepada teman tentang materi yang belum jelas," tutur Grace.
Hal yang sama juga dirasakan Evelyn Suhandi, S.Ds. selama menempuh pendidikan di Universitas Ciputra. Lulusan Desain Komunikasi Visual yang kerap disapa Evelyn ini menceritakan bahwa dirinya terlahir normal. Namun ketika di Sekolah Dasar ia mulai mengalami penurunan pendengaran dan di SMP ia memutuskan menggunakan Alat Bantu Dengar. Selama menggunakan ABD, ternyata tidak bekerja dengan baik akhirnya ia memasang implan koklea. Namun demikian ia dari awal berani dan percaya diri untuk mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan pendengaran, sehingga teman-temannya dapat menyesuaikan diri ketika berkomunikasi dengannya.
Sri Andiani, S. Psi., juga menceritakan bahwa dia menggunakan implan koklea (CI) sejak usia 3 tahun. Dengan bantuan implan itulah ia dapat mengukir banyak prestasi di sekolah dan kini bekerja sebagai asisten asesor untuk seleksi pegawai baru dan promosi pegawai. "Meskipun banyak tantangan, tapi saya mempunyai keinginan yang kuat untuk melanjutkan studi magister seperti mbak Grace," terang perempuan yang akrab disapa Dian itu.
Kisah inspiratif lainnya datang dari Dr. Susanti Tjahja Dini, M. Pd., seorang ibu yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran. Ia mengaku kesulitan pada awal-awal mengetahui kondisi anaknya. Namun hal itu mampu dia lewati dengan adanya dukungan dari keluarga, orang terdekat dan semua pihak.
Anggota Asosiasi Pemerhati Difabel (ASTIFA) ini juga mengatakan bahwa wawasan tentang gangguan pendengaran penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Tujuannya agar penderita gangguan pendengaran mendapatkan kesempatan yang sama sekaligus dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih. Seperti yang telah ia lakukan dengan memberikan pemahaman kepada guru-guru dan teman-teman tentang kondisi Umar. "Untuk para orang tua, percayalah kepada kemampuan anak kita. Apapun kondisinya mereka adalah titipan yang pasti memiliki kelebihannya masing-masing," pungkasnya. (Meds/zam)
Share It On: