www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Teknologi terus bertransformasi. Distrupsi pun terjadi di berbagai lini, termasuk bidang seni. Berbagai perubahan tentu harus direspons dengan baik dan dijadikan peluang dalam melahirkan pemikiran dan inovasi secara masif. Hal itulah yang dilakukan Pusat Studi Seni Budaya, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), UNESA. Mereka menggelar Seminar Nasional ‘Penciptaan Seni di Era Distrupsi’ pada Kamis, 23 September 2021.
Kegiatan virtual itu bertujuan untuk memperdalam pemahaman tentang penciptaan seni, khususnya era disrupsi. Narasumber yang hadir yakni Dr. Salman Alfarisi dari Universitas Pendidikan Sultan Idris Malaysia, Dr. Martinus Miroto, M.FA., dari ISI Yogyakarta, dan Dr. Drs. Djuli Djatiprambudi, M.Sn., dari Universitas Negeri Surabaya.
Djuli Djatiprambudi mengatakan bahwa sejak istilah disrupsi dipopulerkan Clayton M. Christensen, teori tersebut pun digunakan untuk membaca kecenderungan peristiwa dalam kehidupan saat ini. Sebagai orang yang lama melintang di bidang seni, ia menilai abad ke-21 ini merupakan abad visual. “Semuanya dikomunikasikan dalam bentuk visual," ujarnya.
Peradaban manusia, tambahnya, dari masa ke masa selalu mengalami perubahan. Perubahan dipicu oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal yang nantinya melahirkan ‘penciptaan’ budaya baru. Ia mencontohkan, penggunaan logam yang menggeser peran batu. “Meski batu tidak sepenuhnya ditinggalkan, tetapi perubahan ini tentunya melahirkan disrupsi,” tukasnya.
Hal yang sama juga terjadi dalam penciptaan seni rupa yang ditandai dengan perubahan paradigma estetik. Artinya estetika karya seni rupa yang dulunya dipandang sebagai konsep estetika yang ideal, justru saat ini mulai berubah dengan adanya estetika keseharian.
Sementara itu, Martinus Miroto mengatakan bahwa distrupsi adalah sebuah gangguan. Menurutnya, distrupsi datang dari berbagai aspek kehidupan yang mendorong adanya suatu kolaborasi dan kreativitas yang lebih baik. Dalam dunia tari Indonesia pun terjadi perkembangan, mulai dari tari tradisi, tari kreasi baru, hingga tari kontemporer. “Distrupsi era pandemi Covid-19, dunia tari mempunyai pembaharuan yakni tari virtual, yang mana sebuah tarian dikolaborasikan dengan videografi," tuturnya.
Tidak hanya itu, dosen ISI Yogyakarta sekaligus seniman koreografi kontemporer itu menambahkan bahwa seni pertunjukan virtual akan terus berkembang seiring perkembangan dan pemanfaatan teknologi, salah satunya Holograpich Telepresence, sebuah model pertunjukan yang mempertemukan penari di dunia nyata dengan penari yang berada di tempat yang jauh tanpa bertemu secara langsung, tetapi masih dalam satu panggung pertunjukan. (meds/zam)
Share It On: