Mahasiswa Sastra Indonesia belajar tentang seni dan budaya nusantara langsung dengan seniman melalui program Seniman Mengajar.
Unesa.ac.id, SURABAYA—Seniman Mengajar kembali digelar dengan penuh antusias pada Kamis, 12 Desember 2024, di Ruang Sidang T2 Fakultas Bahasa dan Seni, Kampus 2 UNESA Lidah Wetan. Program ini merupakan hasil kolaborasi antara UNESA, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, dan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT).
Acara tersebut dihadiri mahasiswa Prodi Sastra Indonesia UNESA, yang berkesempatan mengikuti tiga materi inspiratif dari para pakar budaya. Materi yang disampaikan meliputi Kembali ke Akar yang Lama untuk Masa Depan, Keris sebagai Seni Budaya Jawa, serta Pengantar Filsafat Kebudayaan atau Kebudayaan Filsafat?
Koorprodi S-1 Sastra Indonesia, Parmin atau yang dikenal Jack Parmin menyampaikan harapannya terhadap program ini. “Saya ingin mahasiswa tidak hanya mendapatkan wawasan baru mengenai seni dan budaya, tetapi juga mampu mengambil peran aktif dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya ini untuk masa depan,” ucapnya.
Salah satu pemateri, Taufik Monyong, memberikan perspektif menarik tentang pentingnya memahami akar budaya, bahwa aksara di prasasti bukan merupakan hal mistik, melainkan berisi tentang asal-usulnya.
“Ketika kita kembali ke akar kebudayaan kita, maka kita tidak akan hilang. Jangan sampai kita meninggalkan aksara nenek moyang kita,” ungkap.
Taufik Monyong, seniman Surabaya menyampaikan seputar akar dan nilai budaya di Indonesia, serta pentingnya generasi bangsa mempelajarinya.
Seniman budaya yang aktif di bidang seni rupa itu menekankan pentingnya intelektual dan spiritual dalam memahami budaya.
“Generasi Z harus berperan mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak penipuan atau omong kosong. Intelektual diperlukan untuk membaca aksara kuno, sedangkan spiritual penting untuk menjaga nilai-nilai budaya,” tegasnya.
Pemateri lain, Anwar Zen turut berbagi wawasan terkait keris yang bukan hanya sekadar senjata tradisional, melainkan sebuah warisan budaya yang sarat filosofi.
“Senjata ini memiliki bentuk unik dan dianggap sebagai simbol kebudayaan serta spiritualitas. Bahkan keris menjadi identitas sosial di masa kerajaan,” ungkapnya.
Seorang kolektor keris dan pusaka itu juga menambahkan bahwa seni keris tetap hidup dengan menghormati nilai tradisional dan beradaptasi dengan zaman modern.
“Keris bukan hanya simbol budaya, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,” tutupnya.
Chrisman Hadi, Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) mengkritisi cara pengajaran filsafat di Indonesia. “Filsafat melahirkan kemungkinan cara berpikir tak terbatas. Namun, di kelas-kelas kuliah di Indonesia, filsafat sering diajarkan hanya sebagai kata benda, sisi informatifnya saja yang dihafalkan. Padahal dimensi informatif dan formatif seharusnya seimbang,” jelasnya.
Program Seniman Mengajar ini menjadi bukti nyata upaya pelestarian budaya melalui pendekatan multidisiplin yang melibatkan seni, budaya, dan filsafat.
“Melalui kegiatan ini, semoga mahasiswa dapat melihat filsafat sebagai alat untuk membuka wawasan dan menciptakan pemikiran baru dalam melestarikan budaya,” tutup Chrisman.[*]
***
Reporter: Prismacintya (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: