www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA—Komunitas Kegiatan Mahasiswa Seni, Drama, Tari, dan Musik (KKM Sendratasik) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menggelar Spesial Pentas Drama Status (Spertus) pada Selasa, 28 Februari 2023 di Gedung Pertunjukan Sawunggaling, UNESA Kampus Lidah Wetan, Surabaya.
Dr. Trisakti, M.Si. selaku Direktur Seni dan Budaya membuka kegiatan ini dengan penuh apresiasi. Dia menyampaikan bahwa teater merupakan salah satu bentuk karya seni dapat diekspresikan melalui pertunjukan drama. “Karya seni yang inovatif sesuai dengan perkembangan zaman namun tetap dalam pakem-pakem tradisi adalah hal yang harus dilestarikan. Karena siapa lagi yang akan melestarikan kalau bukan kita,” ujarnya.
www.unesa.ac.id
Tak hanya pertunjukan teater, spesial pentas drama tersebut juga dimeriahkan dengan penampilan tari bedhaya, remo, special performance Abah Kirun, Abah Edi dan Cak Kartolo.
Siti Mei Saroh selaku ketua pelaksana mengatakan bahwa pagelaran teater perdana ini bertujuan untuk menghidupkan kembali Komunitas Kegiatan Mahasiswa (KKM) Teater Tradisional setelah sekian lama tidak tampil secara langsung karena pandemi covid-19 sekaligus mengenalkan dan melestarikan budaya Jawa yang kurang diminati oleh anak muda. “Teater berdurasi tiga jam ini menjadi pentas drama perdana luar biasa yang diperankan oleh mahasiswa, dosen, alumni, dan seniman ludruk legendaris Indonesia,” ujarnya.
***
Pertunjukan itu berjudul “Gegere Alas Angker” yang menceritakan tentang sayembara oleh Pak Lurah di sebuah desa. Apabila ada seorang pemuda yang dapat mengalahkan para berandal yang dipimpin oleh Dandang Joyo, imbalannya adalah dia akan dinikahkan dengan putri Pak Lurah.
Siti menjelaskan, ‘Gegere Alas Angker’ menceritakan tentang tiga pemuda kakak beradik bernama Joko Nur Siyo, Joko Nur Tirto, dan Joko Nur Cahyo. Joko Nur Siyo baru saja menyelesaikan semedinya di Alas Angker. Sudah saatnya dia turun ke desa untuk mengamalkan ilmu yang telah didapat.
Mereka mendapat tugas dari Pak Carik untuk menjaga benteng berbatasan. Aturan di perbatasan, orang luar tidak bisa masuk dan orang dalam tidak boleh keluar tanpa tanda tangan Pak Carik. Kebijakan ini membuat putra-putri Pak Carik bernama Mukodo dan Mukadi yang baru saja menyelesaikan pendidikan dari padepokan dihadang tiga Joko karena tidak membawa tanda tangan Pak Carik.
Mereka pun terlibat pertikaian yang sampai akhirnya dileraikan oleh Pak Carik sendiri. Singkat cerita, pak Carik pergi ke rumah pak Lurah untuk menanyakan kepastian sayembara yang akan diadakan dalam waktu dekat. Pak Lurah mengiyakan, sayembara itu berupa membunuh Dandang Joyo.
Di Alas Angker, Dandang Joyo bersama berandalannya merampas perhiasan dan menyiksa beberapa gadis. Tak lama kemudian datanglah Joko Nur Siyo, Joko Nur Tirto, dan Joko Nur Cahyo. Tiga joko itu tidak tega melihat para gadis disiksa oleh Dandang Joyo. Akhirnya, mereka maju melawan berandalan Dandang Joyo.
Tersisalah Joko Nur Siyo dengan kesaktiannya bertarung melawan Dandang Joyo seorang diri. Dia memukulkan pusaka berupa pucuk daun pisang (pupuse gedang) ke punggung Dandang Joyo hingga dia menyerah. Pupuse gedang itu pemberian Bopo Guru. Selang beberapa menit kemudian, datanglah Mukodo dan Mukadi. Mereka hendak melawan Dandang Joyo, tetapi sudah terlambat.
Mukodo dan Mukadi mengambil pusaka milik Joko Nur Siyo. Mereka hendak memberikan pusaka pupuse gedang itu ke pak Lurah. Tujuannya yakni agar pak Lurah dapat menikahkan mereka dengan putrinya. Joko Nur Siyo tidak tinggal diam, dia segera mengejar Mukodo dan Mukadi. Dia berhasil merebut pusakanya dari tangan mereka dan terjadilah pertarungan hebat.
Joko Nur Siyo hendak membunuh Mukodo dan Mukadi, datang Bopo Guru melerai mereka. Bopo Guru menjelaskan kalau mereka adalah murid-muridnya dalam satu perguruan. Dia berpesan kepada mereka ‘Saboyo mukti, saboyo pati’ yang artinya selalu rukun dan hidup damai hingga akhir hayat. “Gegere Alas Angker adalah kita sebagai masyarakat harus menjaga kerukunan satu sama lain dan tidak memamerkan kemampuan dengan kesombongan,” pungkasnya.
www.unesa.ac.id
Spertus ini diperankan oleh M. Afifuddin sebagai Pak Lurah, Maya Rosalinda sebagai bu Lurah, Jefry Dio sebagai pak Carik, Septa Amien Susanti sebagai bu Carik, Jefry Rinaldi sebagai Joko Nur Tirto, M. Khotib Hidayatullah sebagai Joko Nur Cahyo, Yoga Yan Wardana sebagai Joko Nur Siyo, Arif Hidajad, S.Sn., M.Pd. sebagai Bopo Guru, Dr. Indar Sabri, S.Sn, M.Pd. sebagai Polo, Dr. Welly Suryandoko, S.Pd., M.Pd. sebagai Bayan.
Selanjutnya, Resha Panji Lanang sebagai Dandang Joyo, Bagus Indra Cahya sebagai Mukodo, Oby Amadenta sebagai Mukadi, Elvajril Dhika Yunisa sebagai Sundari, Nur Azizah sebagai Sulastri, Ari Chandra dan Eli Yoga sebagai pendekar, Danu Sholeh, Adam Mustofa, Vicky Krisna, dan M. Thoriqul Huda sebagai rakyat.
Acara dihadiri oleh Direktur Seni dan Budaya, Dr. Trisakti, M.Si., Dr. Welly Suryandoko, S.Pd., M.Pd., Dr. Indar Sabri, S.Sn, M.Pd., Maestro Ludruk Legendaris di antaranya H. Muhammad Syakirun, Romo Tawar, Eko Edi Susanto, Dosen dan mahasiswa selingkung UNESA. []
***
Penulis: Fionna Ayu Shabrina dan Nabila Arum Hidayati
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas UNESA
Share It On: