Unesa.ac.id, SURABAYA–Fenomena live streaming mandi lumpur di Tiktok menuai kecaman publik dan respons cepat pemerintah hingga aparat, karena dianggap menampilkan kegiatan eksploitasi kelompok lanjut usia. Mensos sampai mengeluarkan edaran untuk mencegah adanya kegiatan yang disebut ‘ngemis online’ tersebut.
Soal konten eksploitatif tersebut, dosen Psikologi, Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi., M.Si., menyebutkan bahwa ada banyak faktor di balik kegiatan ‘ngemis online’ tersebut.
1. Ekonomi dan Tergiur Cuan
Pertama, jelas karena faktor himpitan ekonomi yang memotivasi para kreator konten untuk melakukan aksi tersebut. Pengguna Tiktok yang mencapai 1,4 miliar orang (data April 2022) dan Indonesia sebagai pengguna terbanyak kedua di dunia menjadi lahan basah bagi pencari cuan di dunia maya.
Aktivitas siaran langsung di Tiktok memang yang paling diburu pembuat konten karena bisa mendapatkan gift dari audiens. Saat siaran langsung, audiens memberikan gift dengan jumlah tertentu. Nah, jenis gift ada macam-macam. Ada yang mawar senilai 1 koin, panda senilai 5 koin, lolipop 10 koin, cermin 30 koin, hati 100 koin, nasi tumpeng 300 koin, mutiara 800 koin, dan bianglala 3.000 koin.
Selain itu, juga ada gift bergambar TikTok Universe dengan nilai 34.999 koin. Lalu ada gambar Singa bernilai 29.999 koin, Roket 20,000 koin, dan Planet 15.000 koin. Selain itu masih banyak jenis gift lainnya. Diperkirakan, setiap 13 koin senilai sekitar Rp3.200. Jika koin itu terkumpul hingga 17.500 misalnya, jika dirupiahkan bisa mencapai Rp4.121.000. Ini nanti akan dipotong biaya admin saat pencairan.
2. Mentalitas
Kedua, faktor mentalitas masyarakat yang senang mencari cuan secara instan juga tidak lepas dari munculnya konten eksploitatif baik itu terhadap anak maupun lansia. Menurutnya, persoalan mental ini memang sangat krusial dan sulit diubah karena berkaitan dengan kemalasan, persaingan kerja, keterampilan dan sebagainya. “Mereka ini kan tergiur dengan cuan dan gak mau susah-susah akhirnya bikin lan konten yang begitu dan itu terbukti bisa mendapatkan hasil,” ujarnya.
3. Ada ‘Pasar’
Konten ‘ngemis online’ ini juga bisa berkembang tidak lepas dari kemurahan hati para audiens yang memberikan gift kepada penyiar konten. Di sini ada semacam transaksi antara pembuat konten dengan ‘penikmat’ konten tersebut. Karena pembuat konten ini mendapat reward dari audiens, sehingga mereka termotivasi untuk terus memproduksi konten tersebut. Ini bisa mengarah pada kecanduan mendapatkan reward satu sisi dan menikmati konten di sisi lainnya.
“Menariknya mengapa audiens memberikan reward untuk konten semacam ini,” tukasnya. Ternyata ini bisa karena faktor kasihan melihat lansia yang mandi lumpur. Bisa juga karena penyalahgunaan simpati. Dengan kata lain, orang yang mampu merasa harus melindungi yang kurang mampu lewat pemberian gift dan sebagainya.
Selain itu, juga karena waktu luang pengguna Tiktok yang secara tidak langsung membawanya menjelajahi berbagi konten termasuk mandi lumpur. “Mungkin awalnya penasaran, karena sudah melihat lalu kasihan dan memberi reward berupa gift. Besok lagi kalau nganggur dan masuk di medsos kembali lagi ke konten-konten itu lagi,” bebernya.
Solusinya?
Riza mengapresiasi gerak cepat pemerintah mengeluarkan edaran dan aparat yang menelusuri lokasi pembuatan konten mandi lumpur tersebut. Menurutnya, peran pemerintah dan semua pihak terkait tidak hanya sampai pada mengeluarkan ‘ultimatum’ saja, tetapi juga harus sampai menuntaskan faktor-faktor penyebab lainnya seperti angka kemiskinan, mentalitas dan sebagainya.
Selama akar persoalan tidak teratasi, ‘ngemis’ dalam berbagai bentuk lain akan terus bermunculan. Selain itu, para penikmat konten jangan memberikan apresiasi, atensi atau membiarkan para pembuat konten yang mengarah pada kegiatan eksploitasi atau ngemis online. Kalau menemukan konten semacam itu bisa dilaporkan atau setidaknya jangan didukung. []
***
Penulis: Hasna/Riska Umami
Editor: @zam Alasiah*
Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay
Share It On: