Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pria kelahiran Buton, 44 tahun ini menjelaskan bahwa proses metakognisi yang dilakukan oleh mahasiswa calon guru pada pemecahan masalah matematika kontekstual menunjukkan keterlaksanaan aktivitas metakognisi dengan dinamika yang lebih tinggi dibandingkan ketika memecahkan masalah matematika formal. Salah satu faktornya adalah adanya tantangan yang muncul dari masalah matematika kontekstual yakni subjek harus menerjemahkan situasi kontekstual dari masalah ke dalam model matematika agar dapat digunakan dalam prosedur problem solving.
Melalui pemecahan masalah siswa dirangsang untuk mengembangkan segenap potensi psikologis yang dimilikinya berkaitan dengan proses berpikir. Bagi calon guru, kesadaran dan pengaturan berpikir diperlukan tidak saja agar dapat memecahkan masalah dengan baik, tetapi juga menjadi dasar baginya kelak ketika menjadi guru agar dapat menyiapkan pembelajaran yang mendorong siswa untuk melibatkan metakognisinya.
Sementara itu, dalam disertasinya wanita asal Surakarta ini lebih tertarik pada pemetaan metakognisi pada perbedaan gender. Menurut wanita yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Widya Dharma Klaten ini, proses metakognisi siswa akselerasi atas baik laki-laki maupun perempuan, dapat memanfaatkan metakognisinya dengan baik sehingga dapat mencermati soal dan memilih cara penyelesaian yang tepat. Sedangkan siswa akselerasi kelas bawah, hanya dapat melakukan langkah-langkah prosedural saja. Di lain pihak, siswa laki-laki pada kelas nonakselerasi, baik dari kelas atas maupun kelas bawah cenderung dapat memilih rumus dan menyelesaikan soal dengan baik dan runtut. Sebaliknya, siswa perempuan kurang melibatkan metakognisinya dan kurang menyadari baha apa yang dituliskannya kurang tepat.
Salah satu peran penelitian mengenai metakognisi (khususnya matematika) yang perlu dikembangkan pada setiap pemecahan masalah, yaitu hendaknya calon guru dan siswa diberi pertanyaan-pertanyaan yang mernagsang untuk berpikir dengan melibatkan metakognisinya sehingga memupuk sifat teliti, kritis, dan terampil dalam mengambil keputusan. Strategi metakognisis tidak perlu diajarkan sendiri, tetapi bisa dibiasakan bersamaan dengan pemecahan masalah. Pengetahuan tentang metakognisi juga dapat dijadikan untuk merancang model dan strategi pembelajaran guna meningkatkan kemampuan metakognisi calon guru dan siswa. [Wahyu Nurul Hidayati_Humas]
Share It On: