Unesa.ac.id, SURABAYA-Maraknya kasus pelecehan seksual dan lemahnya perlindungan terhadap korban serta lambannya penanganan kasus di perguruan tinggi menjadi alasan terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan anyar tersebut saat ini memasuki tahap sosialisasi dan desiminasi.
Menindaklanjuti itu, Pusat Pengembangan Karakter dan Layanan BK bersama Pusat Layanan Psikologi UNESA mengadakan Seminar Nasional Desiminasi dan Instalasi Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021 pada 7 Desember 2021. Seminar yang dihadiri sekitar 350 partisipan mendatangkan tiga narasumber; 1) Zahrotul Ulya, S. Kep, MM., Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Timur, 2) M. Isa Ansori, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, 3) Dra. Astrid Regina Sapiie Wiratna S. Psi., Psikolog, CEO Dear Astrid & Ketua Ikatan Psikolig Klinis (IPK) Jawa Timur.
Kegiatan ini bertujuan untuk mambahas bagaimana permendikbud diimplementasikan di lingkungan UNESA. Dr. Bachtiar S Bachri S.Pd., M.pd. selaku Ketua Pusat Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Profesi (LP3) UNESA menyatakan bahwa melalui diseminasi itu diharapkan bisa menemukan strategi yang baik dan kekinian untuk mendukung penerapan Permendikbud di perguruan tinggi.
Di UNESA, lanjutnya, sudah dimulai dengan membentuk tasfos pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta memiliki program konseling baik secara offline maupun online yang dapat digunakan oleh mahasiswa maupun masarakat umum. “Tim ahli dan psikolog siap membantu pemulihan jika terjadi permasalahan yang dialami civitas academika, termasuk kekerasan seksual di sekitar UNESA,“ terangnya.
Sosialisasi tersebut sebagai bentuk komitmen UNESA untuk mewujudkan kampus sehat melalui program Health Promoting University. Program tersebut juga diharapkan bisa untuk mencegah kasus pelecehan dan kejahatan seksual di lingkungan kampus.
M. Isa Ansori selaku Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mengatakan bahwa peraturan tersebut dengan tegas menujuk perguruan tinggi, hal ini membuat seolah–olah perguruan tinggi menjadi tempat kekerasan seksual, sehingga hal tersebut diperlukan. Menurutnya, dalam Permendikbud Ristek itu ada beberapa poin yang bertentangan dengan Pancasila; religiusitas, kemanusian, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Permendikbud 2021, lanjutnya, menunjukkan adanya semangat untuk melindungi dan melakukan pencegahan dari perilaku kekerasan seksua. Namun, yang lebih penting harus dipahami juga, dalam permen itu tidak spesifik menyebut perempuan, sebab korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan, tetapi ada kelompok laki-laki yang rentan mengalami itu.
Jika ditelisik lebih jauh, kekerasan seksual salah satunya disebabkan adanya relasi kekuasaan antara yang kuat dengan yang lemah dan yang kuat berpotensi mendominasi yang lemah. Lembaga Perlindungan Anak mencatat, pada November 2021 ada sekitar 302 kasus kekerasan dalam satu tahun, 50 persennya kekerasan seksual. Kasus itu melibatkan 537 pelaku dan ada 157 yang menjadi korban. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada 2019, korban kekerasan seksual berjumlah 406.174 dan tahun 2020 mencapai 4.31.471 orang.
Zahrotul Ulya, menuturkan, sebelum pandemi orang–orang bisa keluar dan melakukan aktvitas yang lain, tetapi ketika pandemi banyak yang bertemu dalam satu ruang dengan waktu yang lama di ruangan yang sangat sempit yang menyebabkan kebosanan. Selain itu, juga faktor ekonomi karena terdampak PHK dan faktor lainnya yang pada akhirnya membuat kasus kekerasan seksual meningkat. “Lebih banyak pelaku–pelaku ini merupakan orang terdekat korban, seperti pacar, mantan kekasih, ayah maupun kerabat dekat,” terangnya.
Dia menambahkan, kasus kekerasan di lapangan pada dasarnya jauh lebih banyak dari data yang ada. Sebab, tidak semua penyintas berani melaporkan kasus tersebut. Salah satu alasan, karena cara pandang masyarakat tidak berpersektif kepada korban. “Kita justru melihat, ya salahnya sendiri, kenapa memakai celana pendek, begini dan begitulah,” tandanya.
Cara berpikir yang seperti itu, secara tidak langsung membuat kasus meningkat, karena para pelaku merasa tidak bersalah dan berpotensi mengulang perbuatannya. Ditambah budaya hukum yang masih menerapkan budaya patriarki. Ada persyarakatan yang harus melampirkan bukti yang mana hal ini terintegrasi dengan UU ITE, sehingga membuat korban menjadi serba salah dan korban bukannya dilindungi tapi malah dipublikasi.
Adapun yang bisa dilakukan ketika terjadi kekersan seksual adalah membuat kebijakan yang mendukung, akses layanan, ceritakan dan laporkan, tunjukkan rasa peduli dengan tulus dan menjadi pendengar yang baik sehingga mampu dipercaya para korban.
Budaya patrairki yang masih kental membuat banyak perempuan berada dalam posisi terpaksa, misalnya seorang perempuan ini mencintai seseorang, akan melakukan apa saja untuk menjunjukkan rasa cintanya agar tidak kehilangan sosok idamannya. Dalam psikologi, sebenarnya peremuan tersebut berasa pada posisi terpaksa. Kondisi tersebut akan susah dan tetap kalah jika dijelaskan kepada polisi karena hal tersebuat masuk dalam konsep suka sama suka.
Dikatakan Astrid Regina Sapiie Wiratna, ketika seseorang sudah menikah dia sudah memiliki respons seksual yang terjadi secara biologis, bukan karena mau. Hal tersebut tidak bisa dibuktikan, sebab yang terlihat oleh mata adalah tetap konsep suka sama suka. “Begitu susah membuktikan konsep suka sama suka ini,” katanya. “Perempuan harus mampu mengahargai diri sendiri dan melihat bahwa diri adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga, karena itu perlu dijaga dengan baik dan tidak mudah menyerahkan diri kepada lawan jenis yang secara status hukum belum menikah,” pesannya. [Humas UNESA]
Reporter: Sekar Widya Ramadhani
Editor: @zam*
Share It On: