Guru besar ilmu seni rupa UNESA, Djuli Djatiprambudi menyodorkan berbagai fenomena kemajuan teknologi dan kecenderungan manusia kontemporer dari perspektif ilmu seni rupa.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Dosen dan guru besar ilmu seni rupa Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Djuli Djatiprambudi memberikan orasi ilmiah dalam forum bertajuk "Lyceum" di Auditorium Gedung T2, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Kampus II Lidah Wetan, pada Kamis, 12 Desember 2024.
Kegiatan yang dihadiri mahasiswa dan dosen S-1 hingga S-3 Seni Rupa UNESA ini mengusung tema "Abad Visual dan Arah Baru Studi Seni Rupa Kontemporer."
Koorprodi S-3 Pendidikan Seni, Setyo Yanuartuti mengatakan, orasi ilmiah ini merupakan wadah untuk memperluas wawasan dan memperkuat keilmuan di bidang seni dan seni rupa.
"Melalui kegiatan ini, diharapkan civitas terinspirasi untuk lebih memahami dan mengikuti perkembangan seni di era modern ini baik untuk kebutuhan riset maupun aplikasinya," harapnya.
Pada sesi orasi, Djuli Djatiprambudi mengulas pergeseran mendasar yang terjadi dalam paradigma seni rupa di era globalisasi dan revolusi abad ke-21.
Menurutnya, seni rupa kontemporer tidak lagi dinilai hanya dari sisi estetika saja, tetapi juga sebagai bentuk untuk memahami dan merespons isu-isu global, termasuk perubahan sosial, teknologi, dan budaya.
Orasi ilmiah ini dihadiri jajaran pimpinan, dosen, dan mahasiswa seni rupa atau pendidikan seni FBS UNESA.
Ia menyebut era ini sebagai "Abad Visual", di mana logika, akal pikiran menjadi lebih dominan dibandingkan esensi. Karena itu, seni rupa harus bersifat inter/multi/transdisiplin.
Seni rupa kini menjadi wadah untuk menggabungkan kreativitas, refleksi, dan analisis kritis yang mencakup berbagai ilmu pengetahuan, mulai dari filsafat hingga teknologi digital.
Beberapa fenomena seni rupa modern seperti NFT (Non-Fungible Token), seni berbasis augmented reality, hingga seni kripto menjadi bukti nyata bahwa seni rupa telah memasuki era baru yang sarat inovasi.
"Dengan perkembangan ini, kita harus sadari akan pentingnya menjaga keseimbangan antara nilai-nilai lokal dan tuntutan pasar global," ucapnya.
Seni rupa Indonesia, dengan kekayaan tradisi dan budayanya, memiliki posisi strategis untuk bisa bersaing di pasar seni global. Namun, hal ini membutuhkan modal lebih untuk bisa menjadikan seni rupa lokal berkiprah di kancah global.
Menurut profesor kelahiran Tuban itu, ada tiga aspek penciptaan seni. Pertama, aspek formal sebagai wujud dan isi pengetahuan yang menjadi ciri karya seni.
Kedua, aspek pengalaman sebagai keterlibatan lahir maupun batin atas objek dasar pengetahuan. Ketiga, aspek metodologis sebagai prinsip logis yang dimanifestasikan dalam prosedur untuk mencapai ide dan manifestasi empiris ide.
Sebagai bagian besar dari Universitas Negeri Surabaya, dia berharap institusi ini dapat terus berperan aktif dalam mengembangkan pendidikan seni rupa yang berbasis pada creativepreneurship.
Melalui kolaborasi antara seniman, akademisi, dan masyarakat luas, seni rupa kontemporer dapat menjadi cerminan pengalaman manusia yang kompleks sekaligus menjadi katalis perubahan sosial yang signifikan.[*]
***
Reporter: Septiarafi Gusti Putra (FBS)/Davayessy (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: