www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA—Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) bersama Pusat Unggulan Seni dan Budaya UNESA dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) menggelar "Lokakarya Penulisan Puisi dan Pentigraf" di Auditorium T14, FBS, Kampus Lidah Wetan, pada Rabu, 25 Oktober 2023.
Sastrawan berprestasi Indonesia tahun 2017, Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd., menjadi pemateri pada kegiatan itu. Dia memaparkan perihal penulisan puisi. Menurutnya sebagian besar pemula memiliki kegagalan dalam menulis puisi untuk pertama kali. Hal ini disebabkan keinginan untuk menghasilkan puisi yang sempurna dan takut karyanya dianggap jelek.
Dia menyarankan, agar jangan berusaha membuat atau menulis puisi yang baik dengan segala majas, metafora, hiperbola, hingga filosofis. Sebab baik atau jeleknya puisi itu tergantung perspektif pembaca, tugas pencipta puisi pemula yaitu menulis.
"Menulis puisi itu tidak ada resepnya, dan cara terbaik untuk menulis puisi bagi pemula adalah dengan membaca karya puisi sastrawan terdahulu dan sedikit demi sedikit meniru seperti gaya mereka lalu perlahan mengembangkan gaya penulisan puisi khas diri masing-masing," ucapnya.
Kemudian yang lebih ditekankan, imbuh pakar puisi tersebut, segala sesuatu yang akan dikerjakan mestilah memiliki bahan dan kerangka. Nah, bahan sebelum membuat puisi adalah dengan membaca karya sastrawan terdahulu yang kemudian ditambah dengan pengalaman, perasaan, dan kondisi pengarang.
Ia menegaskan jika puisi bukanlah prosa berlarik, harus berdiksi indah, maupun berisi curhatan pencipta. Gaya bahasa puisi yang ditulis bukan berisi atau bermakna tujuan, melainkan hanya sarana penggambaran. Lebih lanjut, ia menerangkan jika kata benda dalam puisi tidak harus dilukiskan, melainkan ditafsirkan.
Selanjutnya, sastrawan yang pernah mengenyam pendidikan di Korea Selatan itu membagikan pengalamannya di mana pentigraf telah digulirkan sejak tahun 80-an, awalnya ditulis di sebuah koran. Tetapi karena pada saat itu belum ada media sosial, maka efek dari tindakannya tidaklah banyak.
www.unesa.ac.id
Pada 2014, ketika Pak Tengsoe (panggilan akrabnya) mengajar di Universitas Korea selama empat tahun, ia memiliki banyak waktu luang dikarenakan hanya mengajar tiga hari saja, sisanya luang. ‘Ke-senggang-an-nya’ itu diisi dengan jalan-jalan untuk mengembangkan kembali gagasan pentigraf.
Karyanya itu mendapat respon positif dari banyak kalangan di jejaring media sosial. Hingga pada 2016, dibentuklah komunitas di platform media sosial, Facebook bernama “Kampung Pentigraf Indonesia” yang sampai kini telah menerbitkan 12 buku antologi.
“Penulisan pentigraf didasarkan berkaitan dengan dunia yang sangat sibuk, sehingga orang tidak punya lagi waktu untuk membaca dan menulis panjang maka pentigraf dapat dijadikan pilihan alternatif,” ucap pria 65 tahun itu.
Pentigraf sendiri tergolong dalam cerita pendek. Sebagaimana cerpen yang banyak di Indonesia bahkan dunia, semacam flash story, cerita mini, cerita sekilas, flash fiction, fiksi mini, serta cerita 140 kata. Tokohnya pun terbatas, hanya terdiri satu hingga dua tokoh saja sudah cukup. Kemudian pada paragraf ketiga, ciptakanlah ketidakterdugaan untuk menghancurkan ekspektasi pembaca.
Dalam kegiatan yang diikuti ratusan mahasiswa itu ia berharap output dari kegiatan lokakarya ini dapat diwujudkan dengan rupa produk antologi bersama. Sehingga kegiatan yang terselenggara dengan baik di mana para mahasiswa yang telah didampingi untuk membuat puisi dan pentigraf dapat tercatat dan terbaca oleh orang lain pula.
"Dua hal itu penting, sebab tercatat menjadikan karya mereka abadi, sedangkan terbaca dapat menginspirasi orang lain pula sehingga menjadi ekspektasi luar biasa yang harus direalisasikan," tandasnya.[]
***
Reporter: Tarisa Adistia/Saputra
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: