www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Hari Perempuan Sedunia atau International Women's Day (IWD) diperingati setiap 8 Maret. Tahun ini IWD menyuarakan #EmbraceEquity atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai #RangkulKesetaraan. Seruan tersebut secara tidak langsung mengajak semua untuk menantang stereotip gender, diskriminasi, menarik perhatian pada bias, dan mengupayakan inklusi.
Dosen Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Dr. Ririe Rengganis, S.S., M.Hum., mengatakan, tema tahun ini sebagai bentuk reaksi atas masih ditemukannya diskriminasi dan stereotip atas nama gender. Tidak dapat dipungkiri, stigma patriarki masih kerap muncul dalam kehidupan masyarakat.
Perempuan era sekarang patutnya diperlakukan setara sebagai mitra yang sejajar dalam pikiran maupun tindakan. Perempuan tidak hanya diberi kesempatan dalam pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan, tetapi juga diberi kesempatan untuk bebas berpikir dan memilih jalan hidupnya sendiri tanpa didikte oleh stigma patriarki.
“Stigma tersebut telah mengakar jauh di luar kesadaran dalam pola asuh bias gender. Pola asuh yang bias gender ini kemudian diwariskan secara turun temurun dan kembali menempatkan perempuan menjadi makhluk yang diatur oleh stigma,” jelasnya.
Bias gender membuat perempuan tidak sepenuhnya merdeka, meskipun mereka sudah mengenyam pendidikan tinggi, pekerjaan yang lebih baik maupun pergaulan yang lebih luas, tetapi masih dibatasi oleh koridor yang masyhur bahwa perempuan memiliki beban ganda, yakni berperan di wilayah domestik (dapur-sumur-kasur) dan pada wilayah publik (berkarir).
Beban ganda itu tidak diemban oleh lelaki, karena pola asuh masyarakat selama ini telah menempatkan perempuan sebagai pelayan bagi lelaki dalam ranah domestik (berumah tangga). “Semestinya pelayanan (dalam rumah tangga) adalah sebuah tindakan resiprokal yang juga mesti diemban lelaki,” tandasnya.
Kepercayaan diri perempuan dibentuk oleh pola asuh yang adil gender. Ketika perempuan terlahir dan diasuh dalam lingkungan yang bias gender secara umum dia akan tumbuh dalam ketidakpercayaan diri. Perempuan cenderung menganggap dirinya tidak boleh atau tidak pantas berdiri sejajar dengan lelaki sebagai mitra. Belum lagi bentukan sosial masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai second class citizen.
Perempuan kelahiran Madiun itu menilai bahwa bias gender masih mengakar dalam kehidupan masyarakat. Ini bisa dilihat dari berbagai anggapan yang masih terus didengungkan di antaranya; setinggi apapun perempuan sekolah ujung-ujungnya kembali ke dapur juga. Anggapan seperti ini kerap diberi label agama dan divalidasi sebagai kodrat perempuan.
Padahal, kodrat perempuan itu bersifat biologis yang tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki seperti menstruasi, melahirkan dan menyusui. Sementara persoalan peran atau posisi perempuan dan laki-laki di ranah domestik maupun publik bukan kodrat, tetapi konstruksi sosial. “Sebenarnya seluruh pekerjaan domestik dalam rumah tangga adalah kerja bersama antara dua belah pihak yang memutuskan untuk berumah tangga. Tidak dibebankan pada perempuan saja,”
Menurutnya, untuk memutus pola asuh atau culture timpang gender yang membuat perempuan menjadi insecure yaitu bisa dimulai dengan membuka wawasan baru, membenahi pola pikir serta tindakan nyata. “Perempuan bukan second class. Semoga dengan IWD ini semakin membuka kesadaran kita bersama untuk memahami peran gender yang sebenarnya sehingga tercipta lingkungan yang saling melengkapi, saling melayani dan mendukung tanpa stigma, kelas maupun diskriminasi,” harapnya. []
***
Penulis: Fionna Ayu Shabrina
Editor: @zam Alasiah*
Foto: https://www.internationalwomensday.com/Theme
Share It On: