"Tulisan ini sebenarnya pernah dimuat dalam Majalah Akbar berupa esai mini biografi, kemudian ketika menjadi pembicara seminar di Tuban tentang penulisan kreatif, ada salah satu perusahaan yang mempromosikan saya untuk membuat versi buku mini biografi itu, " tutur pria penyuka tumis kangkung ini. Gayung bersambut, Ryan menerima tawaran dari perusahaan tersebut sehingga kini buku itu telah beredar di pasaran hingga cetakan kedua.
Dalam penulisan mini biografi tersebut, ia tidak mengalami kendala yang berarti karena narasumbernya sangat kooperatif dan terbuka. Menurut pria yang dilahirkan 20 Mei, 20 tahun lalu ini, hal yang paling berkesan ketika mencari narasumber, yaitu wawancara dengan pihak Basuki Rahmat sebab keluarga yang masih hidup itu sudah berumur 82 tahun dan pendengarannya sudah berkurang jadi harus ekstra keras baik berkomunikasi maupun memahami perbincangannya.
Sebelum berhasil menerbitkan karyanya dalam bentuk buku itu, Ryan juga sering menulis cerpen di Binu Nu dan Mini Bar (Kanwil Jatim) serta media massa lokal di Tuban. Menjadi penulis itu harus jujur, berani, dan bertanggung jawab. Hal itu yang selalu dipegang teguh anak dari pasangan suami istri Tubagus Marwoto dan Sri Sulistyowati ini. Setelah menulis buku ini, Ryan akan merevisi Babat Tuban dan Ensiklopedi tentang Batik Gedok dari Tuban.
Dia berharap, "Penulis dapat lebih dihargai di Indonesia seperti di luar negeri dan semoga orang Indonesia tidak makin rabun membaca dan pincang menulis, " tutur mahasiswa angkatan 2009 ini. Inilah salah satu potret anak muda yang kreatif dan penuh ide cemerlang dalam mengangkat karakter dan kearifan lokal pada era global. Melalui karya-karyanya itu ia ingin menunjukkan bahwa Indonesia memiliki karakter dan kearifan lokal yang dapat dijadikan modal positif dalam memasuki dunia persaingan global. (Tirta Sari MegaHari_Humas Unesa)
Share It On: