Sarmi, nama sebuah kabupaten yang jaraknya sekitar 280 km dari Jayapura. Sarmi merupakan singkatan dari nama suku-suku besar, yaitu Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa. Namun sebenarnya, Sarmi konon ditempati oleh lebih dari 80 suku. Yang memberi nama Sarmi itu sendiri adalah antropolog Belanda, Van Kouhen Houven. Pukul 05.30 WIT, sarmi gerimis kecil, tapi saya nekad keluar kamar, bermaksud jalan-jalan, melihat situasi pagi. Saat menjelang keluar halaman hotel, Pak Kadikpora yang sedang duduk-duduk di teras menyapa saya. Begitu tahu saya akan berjalan-jalan, beliau menemani saya. Jadilah pagi itu saya dan Pak Kadis Dikpora berjalan menyusuri pagi menuju arah pantai, di bawah gerimis tipis, ke pelabuhan. Melihat speedboat yang mungkin akan membawa kami ke Mamberamo besok pagi. Ya, besok pagi. Pagi ini kami sudah dipastikan tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Mamberamo Raya. Semua sedang dikondisikan. Speedboat, bahan bakar, driver. Ya, harus menerima keadaan. Ini hari Minggu. Tidak ada orang bekerja di Papua. Dan kita harus menghormati adat dan kebiasaan ini. Di pelabuhan, kami menikmati matahari yang sudah meninggi, orang-orang memancing, dan garis cakrawala yang tegas tanpa kabut. Mas Rukin, yang beberapa saat tadi sudah bergabung bersama kami, mengabadikan keindahan itu dengan kameranya. Kami bertiga mengobrol tentang hasil perburuan Pak Kadis Dikpora semalam. Berusaha menemui kapolres dan wakapolres untuk urusan speedboat. Bertelepon dengan kabag umum kabupaten untuk dibantu menyediakan speedboat. Menurut Pak Kadikpora, meski rute ke Mamberamo Raya tampaknya tenang, namun kami harus mengantisipasi segala kemungkinan, tidak hanya tantangan alam, namun juga kondisi keamanan. Di tengah perjalanan pulang, tak disangka, kami bertemu dengan kabag umum yang baru datang dari Jayapura, dan pagi ini sengaja datang ke Sarmi untuk mengkondisikan speedboat. Maka pagi itu, di lobi hotel, kami berunding tentang speedboat dengan bapak kabag. Menghitung harga bahan bakar dan oli yang diperlukan untuk 3 buah speedboat. Satu speedboat besar, dan dua speedboat kecil. Lumayan, totalnya tidak kurang dari 23 juta. Plus uang lelah untur driver dan mungkin ongkos sewa. Hotel hanya menyediakan sarapan berupa setangkep roti bakar dan teh atau kopi. Cukup untuk saya, tapi tidak untuk anak-anak. Maka pagi itu, Pak Julianto, dengan meminjam sepeda motor petugas hotel, berburu nasi bungkus. Minggu seperti ini, nyaris tidak ada warung makan buka. Tapi petugas hotel menunjukkan satu tempat yang penjualnya muslim, berjualan, meski warung tidak dibuka. Berhasillah Pak Julianto mendapatkan sejumlah nasi padang bungkus untuk makan pagi anak-anak. Pak Julianto, dosen PGSD itu, masih muda. Tiga puluh dua tahun. Ini percobaan pertama bagi dia untuk terlibat di program SM-3T, dan langsung kami tugaskan ke Mamberamo Raya. Pegang uang, urus akomodasi, urus konsumsi, urus transportasi. Saya hanya membantu untuk koordinasi dengan Sekda dan Kadikpora, dia yang menindaklanjuti. Tampaknya dia lulus di percobaan pertama ini. Sangat bertanggung jawab. Bisa dipakai terus. Kami memang sedang mengader beberapa tenaga muda. Pak Beni Setiawan, dosen Pendidikan Sains, seusia dengan Pak Julianto, telah kami rekrut sejak tahun pertama. Saat itu dia langsung kami tugaskan untuk mengurus tes seleksi yang dilaksanakan di Sumba Timur. Sukses. Setelah itu kami tugasi untuk menjadi koordinator tim monev di tahun kedua. Sukses juga. Sekarang ini dialah koordinator pemberangkatan untuk Mamberamo Tengah. Kemampuan komunikasi dan ketangkasannya untuk memecahkan masalah, sangat bisa diandalkan. Juga sikapnya yang tidak pilih-pilih pekerjaan. Mulai urusan angkut-angkut sampai koordinasi dengan kepala dinas dan bupati. Dua orang yang lain, Pak Ganes dan Pak Ulhaq, dosen PGSD, seusia juga dengan Pak Julianto dan Pak Beni. Dua orang itu kami tugaskan untuk mengurus Jatim Mengajar. Pak Ganes mengurus Madiun, dan Pak Ulhaq mengurus Ponorogo. Saya belum ketemu keduanya sejak mereka berdua mengantarkan peserta Jatim Mengajar ke kedua kabupaten tersebut, karena tanggal 13 September kemarin kami semua berangkat ke berbagai tempat tujuan, dengan tujuan yang sama, yaitu mengantarkan peserta SM-3T dan Jatim Mengajar. Namun laporan via telepon dan sms yang saya terima dari tim Jatim Mengajar, tampaknya semua lancar-lancar saja dan beres. Saya, Pak Sulaiman, Bu Yanti, usia kami hampir sama, sepantaran. Pak Yoyok, dua tahun di atas saya, Pak Heru, lebih-lebih pak Rahman, jauh lebih senior. Maka sudah saatnya kami berpikir tentang kaderisasi. Kaderisasi yang sebenarnya sudah kami mulai sejak tahun pertama, tapi ternyata tidak semua cocok untuk pekerjaan yang memerlukan kemampuan ekstra ini. Suatu saat harus jadi manajer, saat yang lain harus jadi pimpinan, atau menjadi kedua-duanya, sekaligus jadi pembantu umum dan porter. Tidak hanya ketahanan fisik, namun terutama mental. Tanggung jawab dan kejujuran. Tanggung jawab dan kejujuran itu menjadi hal yang sangat penting. Mulai dari urusan pengadaan atribut, asuransi, prakondisi, pemberangkatan peserta, monev, penarikan peserta, semuanya berurusan dengan uang, dan setiap orang harus bisa pegang uang untuk dikelola. Kalau mau mark up, sangat terbuka peluang atau mau main mata dengan para rekanan, bisa. Tapi sejauh ini, teman-teman sangat pegang komitmen. Meski ada iming-iming dari jasa asuransi dan mungkin para rekanan, standar tetap diutamakan. Siang ini kami dijemput driver Pak Kadis Dikpora untuk berkunjung ke rumah Kadis Dikpora Kabupaten Sarmi. Pasalnya, sejak pagi kami mencoba nge-print MoU antara Unesa dan Mamberamo Raya di warnet tidak juga berhasil. Petugas warnet tidak paham juga bagaimana mengoperasikan printer. Printer tidak connect dengan PC. Diutak-atik Mas Rukin pun hasilnya negatif. Kadis Dikpora Sarmi, orangnya gemuk dan tampak agak susah untuk bergerak karena berat badan. Beliau adalah adik kelas Pak Kadis Mamberamo Raya saat SPG di Kabupaten Yapen. Rumahnya, jangan dibayangkan seperti rumah kepala dinas di kabupaten di Jawa. Jauh sekali bedanya. Terlalu sederhana untuk rumah seorang kepala dinas. Berada di belakang sekolah, beliau tinggal bersama istri dan anak-anaknya yang sudah dewasa. Dalam rumah yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Tidak ada mobil pribadi maupun mobil dinas. Meski rumahnya di pinggir pantai yang bila siang hari sangat panas, rumah tidak ada AC. Perabotnya pun sederhana. Tapi beliau punya laptop yang tersambung dengan printer-nya. Juga sesisir pisang nona (di Surabaya disebut pisang emas) yang manis rasanya serta sekaleng minuman kaleng dingin yang menyejukkan di siang yang sangat gerah ini. Selain itu, keramahan khas orang Papua yang membuat siapa pun betah berlama-lama mengobrol di teras rumahnya ditemani semilir angin pantai. Sepulang dari rumah Pak Kadis Dikpora Sarmi, setelah kru JTV mewawancarainya dan mengambil gambar rumah dan keluarganya, kami dengan menumpang mobil Pak Kadis, menuju pantai. Matahari masih terik. Tidak terlalu menarik menikmati pantai. Namun, di dekat pantai itu ada pasar. Di sepanjang jalan. Semua hasil bumi dan hasil laut digelar. Terong, sawi, kangkung, rica (cabe), kacang panjang, bayam, kobis, ikan segar, ikan goreng, udang, singkong, keladi, bete (bentul), dan tentu saja buah sirih dan pinang, juga serbuk kapur putihnya. Sirih dan pinang, menjadi makanan wajib bagi masyarakat Papua. Laki- perempuan, tua-muda, semua mengunyahnya. Membuat mulut mereka merah, dan ludah pinang berhamburan ke mana-mana, menghiasi hampir semua fasilitas umum. Tanaman pinang juga bisa dilihat di banyak tempat. Penjual sirih pinang juga ada di semua tempat. Pinang menjadi komoditas yang sangat menjanjikan di Papua. Saya amati, baru beberapa saat saja, seorang gadis remaja yang berjualan pinang sudah melepaskan beberapa gundukan pinangnya pada para pembeli. Penjual yang lain juga begitu. Semakin sore, pasar semakin ramai. Para penjual dan pembeli memadati sepanjang jalan di pinggir pantai itu. Komoditasnya juga semakin beragam. Pak Kadis membeli dua potong besar daging kanguru yang sudah diasap. Beliau bilang, jarang sekali bisa menemukan makanan hasil buruan itu. Sore yang jatuh menyajikan pemandangan yang luar biasa indahnya. Matahari yang hampir tenggelam di balik bukit, sinarnya membuat langit yang dipenuhi awan berwarna merah kuning berkilauan, dan bayangannya tumpah di permukaan laut. Pemandangan itu menjadi latar belakang kerumunan pasar yang sibuk. Dilengkapi dengan anak-anak pantai yang bermain berlompatan menceburkan diri di laut yang dangkal. Kami mengagumi sepuas-puasnya suasana itu. Namun ada yang sangat mengganggu kenyamanan saya. Sangat! Di antara komoditas itu, mereka juga menjual ulat. Ya, ulat sagu yang besarnya sejempol-jempol itu kruntelan di waskom-waskom. Saya teriak-teriak histeris karena kaget setengah mati. Saya takut sama ulat. Teriakan saya menarik perhatian orang-orang di pasar itu dan mulut mereka yang merah menyeringai kegirangan melihat ketakutan saya. Bahkan seorang mama mendekat ke arah saya tanpa saya sadari, dan dengan senyum termanisnya dia menyapa saya. "Ibu, ini juga ulat, ibu..." Dia membuka genggamannya. Tentu saja saya spontan teriak lagi. Kebahagiaan orang-orang itu sepertinya lengkap saat melihat muka pucat pasi saya. Sore yang indah kami tuntaskan senja ini. Bersama peserta SM-3T. Bersama orang-orang Papua yang cakep-cakep dan ramah-ramah. Bersama langit, laut, pantai, dan bukit yang memukau. Bersama anak-anak pantai yang ramai bekejaran. Malam nanti, kami akan menikmati makan malam dengan menu papeda dan ikan kuah di rumah Bapak Yulius. Beliau adalah adik Bupati Mamberamo Raya, Bapak Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau mengundang kami semua sebagai penghormatan, dan dalam rangka mengenalkan salah satu makanan pokok mereka pada guru-guru SM-3T ini. Supaya mereka terbiasa mengonsumsi papeda dan bahan makanan dari sagu lainnya. (Lutfiyah/Byu)