www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA—Produksi BBM Indonesia tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga pemerintah terpaksa impor yang di lain sisi konsekuensinya bisa merugikan kepentingan nasional. Karena itu, Indonesia struggle meningkatkan produksi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan pendapatan ekspor.
Ini disampaikan pakar audit energi sekaligus dosen Fakultas Teknik (FT) Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dr. Mohammad Affendy, S.T. M.T., dalam Pipamas Energy Talk yang diselenggarakan PT Pipamas bersama UNESA di Auditorium Lantai 9, Fakultas Kedokteran (FK), Kampus Lidah Wetan, pada Senin, 13 Maret 2023.
www.unesa.ac.id
Dalam kegiatan tersebut juga terdapat narasumber lain yaitu Prof. Dr. Rudi Purwono selaku Ekonom Universitas Airlangga dan Deden Mochammad Idhani selaku Area Manager Communication, Relation, & CSR PT. Pertamina Patra Niaga. Mereka dimoderatori Putri Ayuningtyas, jurnalis penyiaran.
Dosen FT UNESA menambahkan, produksi minyak Indonesia berkisar antara 800 ribu barel per hari. Sementara kebutuhan dalam negeri mencapai 1,5 juta lebih barel per hari. Dia berharap dengan kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman kepada mahasiswa dan civitas akademika akan kondisi BBM dan kebijakan-kebijakan yang mengitarinya.
“Selain itu bagaimana program-program Pertamina terkait distribusi atau cara menggunakan BBM bersubsidi yang sesuai dengan kriteria kendaraan. Selain itu juga membahas mengenai isu energi terbarukan, potensi krisis BBM, langkah agar subsidi BBM tepat sasaran, termasuk langkah dalam menekan konsumsi BBM secara berlebihan,” ucapnya.
Sementara itu Deden Mochammad Idhani menyampaikan bahwa sifat BBM subsidi terdapat pada produk subsidi terbatas secara jumlah yang dimana konsumen penggunanya hanya target tertentu yang perlu didata. Berdasarkan data konsumen pengguna minyak solar JBT-PERPRES 191/2014 di antaranya adalah transportasi darat, usaha perikanan, layanan umum/pemerintah, transportasi air, usaha pertanian, hingga usaha mikro/UMKM
“Pihak yang menggunakan dimana penyimpangan/penyelewengan BBM subsidi dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan yang berlaku,” ucapnya.
Maka untuk mengatasi ketimpangan tersebut, yang dilakukan oleh pemerintah adalah mewajibkan konsumen pengguna BBM subsidi (solar JBT dan pertalite JBKP) untuk mendaftarkan kendaraanya guna memisahkan konsumen pengguna yang berhak dan tidak berhak. Kemudian Pertamina melakukan pemeriksaan dan pencocokan data termasuk menentukan konsumen untuk membantu pihak yang berhak atas produk subsidi menjadi terlayani lebih baik.
Adapun benefit dari pelaksanaan program ini di antaranya 1) dari sektor pemerintah daerah mampu membantu meningkatkan pendapatan daerah yang dikaitkan dengan peningkatan PBBKB dari lajunya penjualan BBM dan membantu dalam proses pengawasan penyaluran BBM subsidi ke masyarakat sesuai Perpres 191/2014. 2) dari sektor masyarakat, konsumen mendapat BBM subsidi dengan kepastian data yang valid, waktu antrean menjadi lebih pendek, serta masyarakat teredukasi terkait ketentuan penyaluran BBM subsidi.
Kemudian, 3) dari sektor SPBU, mampu membantu pelayanan BBM kepada masyarakat tanpa perlu khawatir berhak atau tidaknya penerima subsidi.
Adapun menanggapi perihal krisis BBM, Prof. Dr. Rudi Purwono menyampaikan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia terhadap BBM itu sangat tinggi dibandingkan dengan kemampuan industri dalam produksi. Ini dapat dilihat pada kualitas produksi BBM dalam negeri yang berdasarkan data dana APBN, pada setiap tahunnya terus mengalami penurunan.
Bahkan per-2023 ini ditargetkan tersedianya minyak sekitar 600 ribu barel per hari yang kemudian dihadapkan dengan kebutuhan lebih dari itu yang mencapai 1.500.000 barel per hari. Maka dari itu diperlukan sebuah manajemen produksi yang baik untuk melihat tahun-tahun berikutnya, bukan saja berbicara untuk hari ini. “Jadi antara kebutuhan dan produksi harus dipantau terus agar tidak terjadi krisis,” ucapnya. []
***
Penulis: Saputra dan Azhar
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas UNESA
Share It On: