www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id., SURABAYA—Tim Fakultas Teknik (FT) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) merancang sekaligus membuat paket mesin pengolah tempe otomatis. Inovasi ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat proses produksi tempe bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Sidoarjo.
Mesin tersebut diinisiasi para mahasiswa yang terdiri dari Vincentius Septian Dwi Saputra, Muhammad Rizky Rizal Maulana, Mochammad Hanif Zainul, dan Dafa Naufal Alfiyanto. Mereka dibimbing Dr. Djoko Suwito, M.Pd.
"Mesin ini berawal dari temuan kami di FT bahwa di lapangan para UMKM pembuat tempe salah satunya Sentra Produksi Tempe di Desa Sepande, Sidoarjo yang masih mengandalkan proses produksi yang tradisional. Selain memakan waktu, proses manual juga memakan tenaga," ucap Djoko.
Dia melanjutkan, proses pengolahan tempe masih banyak menggunakan cara tradisional yang masih mengandalkan injakan kaki manusia dan filterisasi air tanah secara manual. Timnya menggagas ide untuk merancang dan membuat paket mesin pengolah tempe yang terdiri dari 4 jenis.
Pertama, mesin pemecah, pembersih, dan pemisah kulit kedelai yang diberi nama Osto 3P. Kedua, mesin mixer yang berfungsi sebagai pencampur kedelai dengan ragi (proses peragian). Dalam proses pencampuran tempe dengan ragi menggunakan rasio 10 kg banding 10 gram ragi. Satu kali pengolahan bisa masuk 10-15 kg kedelai dalam waktu 2-5 menit.
Ketiga, mesin fermentasi, yang didalamnya terdapat ruang untuk proses fermentasi guna mendukung pertumbuhan jamur tempe (rhizopus oligosporus dan rhizopus oryzae). Pada proses itu, mesin dapat mengatur suhu dan kelembabannya sesuai dengan kebutuhan atau cuaca yang ada.
“Proses fermentasi dalam mesin dapat dikondisikan. Ketika musim hujan tempe tidak kedinginan dan ketika musim kemarau tempe tidak kepanasan. Jika tempe kepanasan cukup menyalakan kipas angin atau memberikan sedikit air, jika terlalu dingin dapat menyalakan lampu,” jelasnya.
Dia menambahkan, selama proses pengolahan tempe tentu ada kemungkinan human error atau kebablasan. Untuk mencegah hal tersebut, timnya membuatkan suatu ruang yang di dalamnya terdapat pengontrol suhu sekitar 30-32 derajat celcius. Harapannya supaya suhu tempe tetap terjaga.
Keempat, mesin filterisasi air. Mesin tersebut terdiri dari kombinasi filter zeolit, mangan, dan karbon aktif. Cara melakukannya dengan memasang pompa air ke dalam air sumur, lalu difilter, dan ditaruh ke tandon. Penggunaan kombinasi filter tersebut terbukti bisa meningkatkan kualitas air sumur, ditambah lagi dengan adanya pompa, pengolahan tempe jadi lebih efisien dan praktis.
www.unesa.ac.id
Perlu diketahui, keempat jenis mesin inovasi pengolah tempe itu sudah memenuhi standar sterilisasi alat yang terjamin aman untuk pengolahan tempe (food beverage) dan mesinnya pun menggunakan bahan yang terbuat dari stainless steel.
Agung Prijo Budijono, S.T., M.T., selaku Kasubdit Hilirisasi Kewirausahaan dan Inovasi UNESA mengatakan tantangan yang paling utama dihadapi para UKM tempe yaitu masalah air. Mereka masih menggunakan air tanah yang diambil secara manual. Air tanah yang diambil secara manual kurang baik digunakan, karena mengandung unsur-unsur kimia yang berbahaya.
Selain itu air tanah juga akan naik ketika berada di musim kemarau dan akan turun ketika memasuki musim hujan. Nah, mesin yang dirancang selama 2,5 bulan ini memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, lebih efektif, butuh waktu kurang dari 24 jam saja, mulai dari penyiapan bahan hingga pembuatan tempe.
Kedua, mesin lebih terkondisi, higienis, dan bisa memproduksi tempe dalam jumlah banyak dengan kualitas yang lebih bagus. Ketiga, dapat mengurangi sentuhan kulit dan keringat manusia secara langsung, sehingga lebih higienis.
Produk tersebut akan terus dikembangkan. Agung merencanakan akan mendaftarkan merek dan sertifikasi halal ke semua jenis mesin pengolah tempe itu, serta akan menggerakkan tim pemasaran dari kalangan mahasiswa maupun UKM mitra. Harapannya supaya inovasi mesin tersebut mampu menjangkau segmen pasar yang lebih luas.
Rencananya, tahun ini tim inovasi akan memasukan mesin tersebut ke dalam Matching Fund Kedaireka, serta dapat terwujudnya hilirisasi (bisa diterapkan di masyarakat umum) dan komersialisasi (dibuat lalu dijual). “Sebelum dijual harus diuji lagi untuk mendapatkan kualifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI),” kata Agung.
***
Penulis: Fionna Ayu Shabrina
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Inovasi Mesin Pengolah Tempe
Share It On: