www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id., SURABAYA—Perubahan iklim yang terjadi belakangan ini menjadi perhatian berbagai pihak di berbagai negara. Fenomena itu membutuhkan langkah krusial dan strategis. Isu itulah salah satu yang dibahas dalam International Conference of Mathematics, Science, and Education (ICoMaSEdu) yang diselenggarakan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Negeri Surabaya (UNESA) secara daring, Sabtu 12 Agustus 2023 lalu.
ICoMaSEdu merupakan konferensi internasional tahunan yang diselenggarakan sejak 2017 dengan cakupan bidang matematika, sains, pendidikan dan informatika. Tema yang diusung kali ini yaitu “Reinforcing Collaborative Research in Mathematics, Science, and Education to Promote Innovation and Productivity”.
Konferensi itu dihadiri lima pakar internasional di bidang terkait yang juga menjadi pembicara pada kegiatan tersebut. Mereka adalah Dr. Eko Hariyono, M.Pd. dari UNESA, Prof. Dr. Satoru Nakashima dari Universitas Hiroshima Jepang, Prof. Sir Martyn Poliakoff dari Universitas Nottingham UK, Prof. Dr. Peter C. van Welzen dari Naturalis Biodiversity Center Belanda, dan Dr. Zoltan Kovacs dari Universitas Debrecen, Hungaria.
Eko Hariyono mengungkapkan bahwa Indonesia telah menjadi saksi beberapa kejadian bencana alam yang sering terjadi. Dalam dua tahun terakhir, terjadi perubahan dramatis dalam sistem alam. Dengan kata lain, perubahan iklim telah mengubah pola bencana alam, menghadirkan tantangan yang mendalam bagi wilayah-wilayah di Indonesia.
Dia melanjutkan, dalam 17 tahun terakhir beberapa parameter menunjukkan pemanasan global telah meningkat, seperti suhu yang mengalami peningkatan 12% hingga kenaikan air laut sebesar 151%. Untuk mengurangi peningkatan pemanasan global, pihaknya menekankan pada riset dunia pendidikan yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam penerapannya di dunia pendidikan, modifikasi kemampuan guru sains yang harus dibekali dengan kompetensi perubahan dalam pembangunan berkelanjutan. Tentu, dari hal itu mendorong literasi dan kesadaran siswa saat belajar sains.
Pada risetnya, dia mendorong instansi pendidikan untuk membangun aksi perubahan iklim. Pengajar pada sekolah menengah dapat menerapkan beberapa aksi seperti pemanfaatan lahan untuk hidroponik, membangun kebiasaan konsumsi makanan bernutrisi, serta bioteknologi lain. Hal itu merupakan Upaya kecil yang bisa ditanamkan dalam mengurangi perubahan iklim yang semakin parah.
Sementara itu, dalam bidang pendidikan, Zoltan Kovacs menyebut sistem pendidikan di beberapa negara masih sebatas mendengarkan teori saja, termasuk soal pembelajaran perubahan iklim. Menurutnya, pembelajaran aktif harus melibatkan kegiatan diskusi yang dapat menekankan pemikiran tingkat tinggi, ditambah lagi dengan melibatkan kerja kelompok.
Ada dua konteks yang harus jalan secara bersamaan, yakni pembelajaran aktif dan pengajaran aktif. Berbeda dengan pembelajaran aktif yang mengutamakan materi, pengajaran aktif berprinsip pada siswa yang menemukan rumusan permasalahan dalam situasi yang diberikan.
“Contohnya pada pembelajaran matematika yang mana angka 10 tidak harus didapatkan dari 5+5, tetapi bisa menggunakan angka lain bahkan bisa mengurangi angka positif dengan negatif,” tuturnya.
Pada kesempatan itu hadir juga Prof. Dr. Hj. Siti Nur Azizah, S.H., M.Hum., Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan, Kerja Sama, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dia menyebut pertukaran ide melalui kegiatan itu berperan penting dalam merespons masalah krisis global saat ini.
Dengan berbagi gagasan yang dibicarakan diharapkan dapat menciptakan solusi yang holistik dan efektif. "Inovasi dan riset menjadi tonggak penting dalam menghadapi tantangan melalui ide-ide terbaik yang memiliki potensi untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih berkelanjutan dan aman," ucapnya. [*]
***
Reporter: Muhammad Dian Purnama
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: