Seperti saya ceritakan yang lalu, penerbangan garuda yang saya tumpangi terpaksa landing di Muscat karena bandara Abu Dahi tempat seharusnya kami singgah ditutup. Ditutup demi keamanan, karena kabut tebal. Bukankah seperti kata Pak BJ Habibie, dalam penerbangan swasta keamanan dan kenyamanan adalah nomor satu. Tidak seperti pesawat tempur yang menomorsatukan kemampuan bermanuver. Jadi, logis kalau pilot dan petugas bandara mengutamakan mengalihkan pendaratan ke Muscat demi keamanan.
Penerbangan jadi terlambat lebih dari enam jam. Bahkan senyatanya lebih dari tujuh jam, karena quick handling yang diperkirakan hanya 30 menit lebih dari satu jam. Mungkin karena pesawat sangat kotor, seperti yang saya ceritakan terdahulu. Pesawat take off dari banda Abu Dabi jam 11.30an waktu setempat atau jam 14.30 waktu Surabaya. Dapat dibayangkan laparnya perut saya. Pagi hanya diberi roti kecil, itupun kata pramugari sisa-sisa makanan untuk pengganjal perut.
Otak sih dapat memahami. Seharusnya pesawat landing di Abu Dabi jam 02 tengah malam waktu setempat atau jam 05 waktu Surabaya. Wajar kalau menjelang landing hanya diberi sepotong roti dan minuman hangat. Seingat saya, setelah take off penumpang akan diberi sarapan pagi, yang makanannya dinaikkan dari bandara Abu Dabi. Mungkin mirip makan saur, karena waktu sarapan tersebut sekitar jam 3.30 waktu setempat. Tapi saya duga cocok bagi perut saya, karena saat itu jam 6.30 waktu Surabaya.
Ketika ternyata pesawat baru take off sekitar jam 14.30 waktu Surabaya, perut tidak dapat dikibuli oleh otak. Ternyata jam biologis saya lebih kuat dibanding jam rasionalitas otak. Otak mengatakan masih jam 11.30, seperti yang tampak di arloji (karena sudah disesuaikan) tetapi perut mengatakan waktu makan siang sudah tiba bahkan sudah lewat. Namun, apa yang dapat dilakukan? Di garuda tidak ada penjualan makanan seperti di Air Asia, jadi ya hanya bisa menunggu dan berharap makan siang segera dihidangkan.
Ketika crew pesawat mengumumkan bahwa pramugari akan mulai menghidangkan makan pagi saya seakan bersorak. Betul makan pagi, karena sesuai dengan "jatah" seharusnya yang dihidangkan untuk sarapan, jika pesawat berangkat tepat waktu jam 6an. Tidak apa-apa, walaupun seperti yang diumumkan yang tersedia hanya nasi goreng atau omelet. Dalam hati, nasi goreng yang dimasak di Abu Dabi mungkin enak dengan tambahan "lauk lapar".
Mulailah pramugari yang cantik-cantik dengan seragam khas garuda, mengedarkan minuman jus jeruk. Setelah gelas minuman diambil, mulai mengedarkan handuk kecil basah untuk membersihkan tangan. Dan setelah handuk kecil dikumpulkan, barulah pramugari mendorong kereta makanan dan menawarkan pilihan nasi goring atau omelet. Persis seperti SOP (standard operating procedure) layanan makan di pesawat. Mungkin secara kesehatan betul, dimulai dengan minum jus dan membersihkan tangan sebelum makan. Namun, perut rasanya memberontak. Bukankah sudah jam 13 waktu setempat atau sudah jam 16 waktu Jakarta. Mengapa masih mempertahankan SOP? Mana yang lebih risiko, terlambat makan atau lupa membersihkan tangan ya?
Mungkin pertanyaan tersebut juga dilema bagi pramugari dan pramugara. Walaupun sudah siang harus diumumkan akan dimulai makan pagi, karena SOP-nya memang makan pagi. Harus dimulai dengan minum jus dan membagikan handuk kecil basah untuk membersihkan tangan, walaupun mereka tahu penumpang sudah kelaparan. Saya yakin mereka faham akan kondisi penumpang. Buktinya, saat saya memberi komentar "saya lapar mbak", dia menjawab "sama pak". Ketika saya tanya "capek mbak", mereka menjawab "capek sekali, saya sampai tidak dapat mikir pak". Namun mereka terikat SOP, yang mungkin baku. Mirip ketika menyampaikan pengumuman, ternyata mereka itu membaca teks.
Setelah selesai sarapan dan perut tidak lagi berontak, saya berpikir begitu baku-kah SOP di pesawat, sehingga sama sekali tidak dapat diubah. SOP dirancang untuk memastikan suatu proses kerja berjalan seperti yang seharusnya. Dengan begitu dipastikan semuanya berjalan optimal seperti yang direncanakan. Setiap alat biasanya memiliki manual atau petunjuk pengoprasian. Itu analogi SOP yang mudah difahami. Menghidupkan komputer ada manualnya. Jika manual itu diikuti, pabrik pembuat seakan "menjamin" komputer akan berjalan dengan baik dan berumur panjang. Menyetir mobil juga ada manualnya. Orang yang kursus menyetir akan diajari manual itu, mulai dari menghidupkan mesin, menunggu sampai mesin panas, menginjak pedal kopling, memasukkan verneling, pelan-pelan melepas pedal kopling bersamaan menginjak pedal gas dan seterusnya. Jika itu dilakukan, "dijamin" mesin tidak mati dan mobil tidak "melompat" dan sebagainya.
Dalam bentuk lain, konon makan juga ada SOP-nya. Saya pernah dapat cerita ada lembaga kursus kepribadian yang mengajari "SOP makan yang benar". Mulai cara duduk, cara memegang sendok, garpu, pisau, cara meletakkan tangan, cara menyuapkan ke dalam mulut dan sebagainya. Konon banyak istri para "penggede" kursus semacam itu, agar tidak keliru saat makan bersama kolega sesama istri penggede.
Saya berpikir, bukankah SOP itu dirancang jika keadaan normal? Jika ada bencana dan harus segera pergi, maka pemanasan mesin dalam SOP menyetir mobil, harus dikalahkan dengan pentingnya segera meninggalkan tempat. Jika jadwal mepet, SOP makan yang dipelajari di kursus kepribadian harus dikalahkan oleh keperluan cepat-cepat selesai.
Seingat saya, dalam suatu rancangan program kerja, selalu ada "Plan-A", "Plan-B", dan bahkan "Plan-C". Plan-A dilaksanakan jika keadaan normal. Plan-B, dilaksanakan jika keadaan "begini". Plan-C, dilaksanakan sebagai jalan terakhir, jika Plan-A maupun Plan-B tidak memungkinkan. Simpulan saya, apakah SOP makan di pesawat hanya satu-satunya SOP dan itu sangat baku, sehingga tidak boleh diubah sama-sekali? Mungkin para manager operasional penerbangan yang cocok untuk menjawab.
Share It On: