Unesa.ac.id, SURABAYA-Publik digegerkan dengan kasus ratusan pelajar di Kabupaten Ponorogo yang ajukan dispensasi nikah dini ke Pengadilan Agama setempat. Hal yang serupa juga terjadi di Pacitan. Menurut, pakar perkembangan psikologi anak Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi., M.Si., kasus ini tidak lepas dari faktor minimnya edukasi seksual, dukungan orang tua dan ‘tontonan’ remaja.
Mengutip teori Erikson, Riza menjelaskan, perkembangan manusia melalui lima tahap yaitu trust, autonomy, initiative, industry dan identity. Nah, masa remaja berada di tahap kelima, yakni identity atau identitas. Fase ini identik dengan kebingungan individu mencari identitas dirinya.
Fase remaja ini mulai muncul ketertarikan terhadap lawan jenis dan ini dibarengi dengan adanya dorongan seksual. Dorongan ini akan semakin kuat dengan stimulasi dari luar pribadinya seperti pengaruh tayangan atau tontonan remaja di gawai atau di internet.
Majunya teknologi informasi membuat remaja bisa mengakses hal-hal yang seharusnya tidak diakses seperti ‘tontonan dewasa’ misalnya. Dampak pergaulan dan aksesibilitas ke ruang ‘dewasa’ ini semakin parah jika peran orang tua lemah. Orang tua menjadi benteng penting bagi remaja untuk belajar norma dan nilai kehidupan.
“Ketika orang tua tidak ada ketika anak memasuki fase kebingungannya, maka anak ini akan mencari ruang lain yang bisa saja buruk bagi mereka. Orang tua harus menjadikan rumah tempat ternyaman buat mereka bangun komunikasi dan curhat segala yang dirasakannya,” terangnya.
Selain itu, minimnya edukasi seksual membuat remaja mencoba-coba hal yang bikin mereka penasaran. Sebaiknya, edukasi seksual harus dilakukan secara masif dan sejak dini baik di level keluarga maupun sekolah.
Memang, selama ini, edukasi di sekolah sudah dilakukan, tetapi masih berfokus pada pengetahuan tentang kontrasepsi. Sementara untuk edukasi seksualnya masih belum mendalam.
Kemudian di rumah, banyak orang tua yang masih tabu memberikan edukasi seksual kepada anaknya. Tidak sedikit orang tua menunda hal tersebut dan membiarkan anaknya tahu sendiri seiring berjalannya waktu.
***
Dosen psikologi itu mengungkap banyak sekali risiko yang akan dialami para pelajar yang hamil duluan lalu menikah. Hal ini bisa mengarah pada kesehatan mental. Remaja rentan mengalami stres dan depresi karena respons lingkungan masyarakat terhadap tindakan mereka.
“Yang paling besar itu adalah perasaan bersalah yang dirasakan akibat suatu proses dalam mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia kepada orang lain yang namanya private disclosure,” bebernya.
Karena beban mental, remaja juga rentan atau ada kecenderungan untuk melakukan aborsi, lari ke narkotika, hingga bunuh diri. Karena itu, menurutnya, remaja yang seperti itu perlu disupport bukan justru dihakimi atau ditampar dengan pertanyaan yang membuat mereka minder, merasa bersalah dan sebagainya. []
***
Penulis: Mohammad Dian Purnama
Editor: @zam Alasiah*
Foto : Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay
Share It On: