www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA—Akhir-akhir ini, marak diperbincangkan isu seputar keputusan sejumlah influencer yang tidak mau memiliki momongan alias childfree di tengah kalangan netizen. Isu ini mulai ramai setelah salah seorang influencer yang bernama Gita Savitri kerap mengutarakan pendapat dan alasannya memilih hidup tanpa momongan.
Bahkan, terbaru, melalui unggahan akun pribadinya, wanita yang akrab disapa Gitasav itu menyatakan bahwa pilihan childfree semata-mata untuk kiat awet muda. Sontak, perempuan 30 tahun itu diserang netizen yang rata-rata adalah emak-emak.
Childfree sebenarnya bukanlah suatu hal baru. Namun seakan-akan childfree dianggap sebagai hal yang tabu. Alasanya, norma dan budaya masyarakat Indonesia menganggap bahwa memiliki anak menjadi sebuah kebutuhan, bahkan sebagai perantara mengharap berkah. Tak heran childfree menjadi sangat sensitif di telinga masyarakat Indonesia.
Di sejumlah negara-negara maju seperti Jepang dan Korea, tendensi terhadap childfree sangat minim, karena dapat mempengaruhi demografi negara yang mana angka kelahiran di negara-negara tersebut kian menurun. Sedangkan kebutuhan produksi mesin meningkat. Lambat laun childfree juga berpotensi mengakibatkan krisis sumber daya manusia dan ekonomi negara.
Terkait soal itu, dosen psikologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Vania Ardellia S.Psi., M.Sc., turut berkomentar. Dari perspektif psikologi, childfree merupakan salah satu tren yang berpotensi menyebabkan sanksi sosial.
“Orang biasa-biasa saja bisa kena hujatan dari keluarga maupun tetangga, apalagi influencer. Makanya, martabat seseorang akan sangat mungkin berbalik seratus delapan puluh derajat karena childfree,” ujarnya.
Sementara itu, childfree adalah pilihan dan keputusan yang diambil bersama pasangan. Tentunya ada banyak faktor yang melatarbelakanginya, misalnya pandangan suami atas hak istri terhadap tubuhnya, pengalaman kelam di masa lalu, minimnya pengetahuan terkait parental, hingga kondisi medis. Namun tetap harus diyakini bahwa tiap pilihan akan ada konsekuensi yang harus dihadapi.
“Meskipun pilihan, bakalan tetap ada dampak psikologis yang mungkin disebabkan oleh sanksi sosial seperti stres, cemas, was-was terhadap omongan orang lain, yang kemudian dapat menyebabkan individu menarik diri dari suatu kelompok sebagai bentuk mekanisme ‘koping’ (cara individu mengatasi tekanan, red),” tuturnya.
Dosen yang bermarkas di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) itu juga menegaskan bahwa masih ada alasan positif di balik keputusan untuk childfree. Salah satunya yaitu memudahkan wanita dalam mengenyam karirnya. Terlebih lagi wanita memiliki derajat yang setara dengan pria jika dilihat dari perspektif psikologi gender.
“Perempuan memiliki kesempatan lebih leluasa untuk banyak mengeksplor dirinya seperti berkarir karena childfree. Namun perlu diingat, childfree pasti didasari berbagai faktor personal sehingga tidak bisa digeneralisasikan bahwa semua perempuan yang memilih childfree lantaran alasan karir,” sambungnya.
Sebenarnya, ada berbagai alasan positif lainnya di balik childfree baik itu karena faktor fisik (sakit turunan) kecukupan ekonomi (persoalan biaya hidup), hingga sebagai langkah untuk mendukung program pemerintah dalam menekan overpopulasi.
“Sehingga, kita mesti memberi toleransi atas pilihan childfree dan bukan menjadikannya mutlak untuk disalahkan. Pilihan hidup masing-masing tetap harus dihargai karena berbagai proses mental atau perilaku individu bersifat kompleks dan dinamis,” pungkasnya. []
***
Reporter: Ahmad Rizky Wahyudi
Editor: @zam Alasiah*
Share It On: