Pagi ini (5/9) pakar semiotika politik, Andik Yulianto, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa bersama Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Isa Anshori diundang SBO TV dalam siaran langsung acara Update Pagi. Topik bincang pagi di stasiun TV lokal Jawa Timur itu membahas kontroversi beberapa teks yang dianggap kasar dalam buku Bahasa Indonesia untuk siswa SMP/MTs kelas VII. Seperti yang telah diberitakan sebelumnya bahwa buku dengan tebal 226 halaman ini beberapa waktu terakhir dikeluhkan oleh beberapa wali murid karena dianggap memuat kata-kata kasar. Seperti, (maaf) "Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Kata-kata itu termuat di halaman lampiran dalam sebuah cerita pendek (cerpen) karya Muhammad Ali dengan judul Gerhana. Keterangan dalam lampiran itu dinyatakan bahwa cerpen berikut dapat dijadikan bahan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Kata-kata itu pun kemudian dipersoalkan karena dinilai terlalu kasar dan kurang pas dibaca oleh siswa di tingkat SMP/MTs. Acara yang dipandu Wisnu Wardhana selaku pembawa acara itu berlangsung cukup menarik. Isa Anshori mengemukakan bahwa cerpen karangan Muhammad Ali itu sebagai karya sastra memang bagus, namun masalahnya apakah layak buku pegangan siswa yang digunakan secara nasional tersebut memuat kata-kata yang kurang patut didengar siswa. "Ini buku siswa kelas VII SMP lho, saya khawatir jika siswa terbiasa mendengar kata-kata yang kurang patut tersebut dan kemudian dimunculkan dalam buku teks nasional seolah-olah menjadi kata umpatan yang wajar didengar dan digunakan oleh siswa, bukankah pemerintah ingin mendidik karakter siswa?" ujarnya. Sementara itu, Andik Yulianto menyatakan bahwa sebenarnya teks naskah cerpen itu tidak terlalu bermasalah jika digunakan pada lampiran buku siswa SMA karena pada dasarnya dalam karya sastra selalu ada nilai-nilai baik dan buruk. Keduanya bisa jadi bahan pelajaran bagi siswa. "Dalam perspektif saya, kalau merunut alur dan isi ceritanya bisa jadi ini merupakan bentuk sindiran politis bahwa aparat kepolisian belum dapat sepenuhnya dicontoh tindak tanduknya". Senada dengan hal itu, di tempat terpisah, Suyatno, pakar pendidikan sastra Indonesia Unesa menjelaskan bahwa ekspresi dalam karya sastra tidak bisa dibatasi. Di dalamnya selalu ada perilaku baik dan buruk yang ditokohkan pemerannya. Jadi sesungguhnya buku siswa yang merupakan dokumen mati itu harus selalu didampingi oleh guru sebagai penghidup dokumen itu untuk menjelaskan dan mengarahkan siswa dalam belajar tentang arti kehidupan melalui karya sastra. Di situlah peran guru menjadi penting karena sesungguhnya cerita apapun dapat menjadi pelajaran bagi siswa. Suyatno menambahkan, Muhammad Ali adalah sastrawan tahun 1970-an yang hidup di Surabaya. Karya-karyanya selalu berlatar kaum melarat dan kelas paling bawah. Muhammad Ali juga dalam kondisi kekurangan. Dia selalu pindah-pindah rumah untuk sekadar kos atau kontrak. "Tahun 1988-an, saya pernah ke rumah barunya di Perumnas Manukan, hadiah dari Walikota Surabaya, Muhaji Wijaya saat itu. Karena gembira punya rumah baru, setiap tamu di suruh mandi di kamar mandi rumahnya. Termasuk saya yang akan berwawancara saat itu juga di suruh mandi. Saya ya mandi dengan nikmatnya, meski baru mandi dari kos-kosan waktu itu," kenangnya. (Byu)