www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Universitas Negeri Surabaya (UNESA) melalui Pusat Pembinaan Ideologi, LPPM terus melakukan upaya preventif untuk mencegah munculnya dan tersebarnya paham intoleran, radikalisme dan terorisme di kampus. Salah satu yang mereka lakukan yaitu menyelenggarakan Seminar Korbinmas Baharkam Polri 2022 pada Kamis, 8 September 2022 di Auditorium Lantai 11 Gedung Rektorat Kampus Lidah Wetan, Surabaya.
Seminar ini menghadirkan sederet narasumber seperti Drs. Mufi Imron Rosyadi, MEI Kabid Penais Zawa Kanwil Kemenag Jatim, Ustadz M. Nasir Abbas pengamat terorisme dan eks-napiter, dan Dr. Oksiana Jatiningsih, M.Si. sebagai Ketua Jurusan PMPKN UNESA.
Kasubdit Bintibsos Ditbintibmas Korbinmas Baharkam Polri, Kombes Pol Hari Purnomo dalam sambutannya mengungkapkan seminar ini sebagai upaya untuk edukasi bahaya radikalisme di lingkungan pendidikan sebagai langkah pencegahan dan penangkalan radikalisme dan terorisme serta intoleransi.
“Seminar ini dilakukan serentak di seluruh Indonesia secara bergiliran, utamanya menyasar pada lingkungan pendidikan seperti sekolah, ponpes, dan perguruan tinggi,” ujarnya.
Dia melanjutkan, sasaran utama kelompok terorisme dan radikalisme adalah generasi muda yang masih sangat rentan terpengaruhi paham-paham radikalisme. “Ini bukan hanya sekadar memberi pemahaman, tetapi mengajak mahasiswa menjadi garda depan mencegah masuknya paham intoleran dan radikalisme di kampus,” tutupnya.
www.unesa.ac.id
Dr. Agus Hariyanto, M.Kes., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni menyatakan, akar permasalahan paham seperti radikalisme yaitu pemahaman agama yang sempit dibarengi dengan keyakinan akan klaim kebenaran tersebut.
Paham seperti ini terjadi pada semua agama, kelompok, suku, dan ras serta terjadi di berbagai negara. “Kita semua perlu mencegah aksi radikalisme, terorisme dan intoleransi di kampus dan di mana pun. Ini tugas bersama. Perlu upaya pencegahan sejak dini,” terangnya.
Sebagai eks anggota Jamaah Islamiyah (JI), ustadz M. Nasir Abbas menjelaskan bagaimana organisasi teroris merekrut anggota baru. Kegagalan seseorang dalam melihat dan menyikapi perbedaan dapat menimbulkan perilaku atau tindakan intoleransi disusul dengan pemikiran dan pemahaman radikal.
Ada empat tahap ekstremisme para teroris. Dari tindakan Intoleran yang dihasilkan oleh kegagalan dalam melihat perbedaan, akan timbul konflik horizontal yang terdiri atas isu suku, agama, ras dan antar golongan. Sedangkan, tahap berikutnya mereka mulai membuat konflik yang mengarah secara vertikal terhadap UUD 45, Pancasila, dan NKRI.
Kurangnya pengetahuan, salah berguru, dan merasa kecewa bisa menjadi sasaran empuk masuknya paham radikalisme. Dia memberi beberapa contoh kata-kata orang yang sudah terpapar radikalisme seperti “teroris itu baik, pejuang Islam”, “pemerintah ini kafir…”,” bagus itu di bom..” , dan berbagai kata –kata lainnya,” jelasnya.
Para recruiter sendiri menggunakan tekanan mental yang membuat targetnya down terlebih dahulu, melalui pemikiran dan wawasan yang seolah-olah memahami betul tentang ilmu agama. Dengan cara itu, mereka akan menarik para target yang dirasa agamanya kurang, atau masih gampang diombang-ambingkan.
www.unesa.ac.id
Oksiana Jatiningsih, menyampaikan, karakteristik dari seseorang yang sudah terpapar radikalisme di antaranya sikap tidak toleran, sikap fanatik, sikap eksklusif dan sikap revolusioner (kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan).
Perlu bagi generasi muda untuk mampu menanamkan nilai nilai antiterorisme seperti 1) citizenship (kualitas pribadi seseorang yang berkaitan hak dan kewajiban sebagai warga negara) 2) compassion (peduli terhadap penderitaan orang lain, simpati dan empati). 3) courtesy, (perilaku sopan santun dan berbudi Bahasa halus) 4). Fairness, (perilaku adil ) 5). moderation (menjauhi pemikiran dan tindakan yang irasional).
Generasi muda harus aktif membangun diri, aktif dalam kehidupan sosial baik dalam keluarga, kampus dan masyarakat. Generasi muda harus mampu sebagai kontrol, penggerak dan penguat kehidupan bermasyarakat, sebagai pencegah masuknya pemahaman radikal.
Drs. Mufi Imron Rosyadi, menyampaikan, masyarakat perlu memahami moderasi beragama. Moderasi beragama bukan hal absurd yang tak bisa diukur. Keberhasilan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat dari tingginya komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. [HUMAS UNESA]
Penulis: Hasna
Editor: @zam Alasiah*
Share It On: