Ratusan orang memenuhi auditorium Leo Idra Ardiana di kompleks Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa kampus Lidah Wetan Surabaya. Mereka ingin tahu pergulatan teks bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 yang dikemas dalam Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Minggu (20/10). Mereka itu adalah akademisi dari beberapa kampus di Jawa Timur, guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) wilayah Surabaya, dan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selama ini masih bingung dengan implementasi kurikulum 2013. Pembicara dalam seminar nasional tersebut merupakan pakar pendidikan bahasa Indonesia yaitu Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd., Ketua Himpunan Pendidikan Bahasa Indonesia (HPBI) Jawa Timur dan Prof. Dr. Kisyani, M.Hum. yang mewakili Prof. Dr. Mahsun sebagai Kepala Badan Bahasa Kemdikbud. Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd. mencermati kualitas buku teks Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan (BIWP) yang diperuntukan bagi siswa SMP/MTs. Menurutnya, buku siswa itu untuk dikonsumsi siswa sehingga dalam penyusunannya harus disesuaikan dengan tingkat berpikir siswa. Oleh karena itu, istilah-istilah teknis yang mestinya hanya untuk konsumsi guru tak perlu dimunculkan di buku siswa. Hal itu seperti yang terlihat dalam istilah membangun konteks dan informasi prawacana pembelajaran teks . Selain itu, penyajian subbab buku teks untuk siswa itu juga lebih terlihat seperti modul, pembahasannya tidak mengalir karena setiap subbab penulis dipaksa harus menyajikan porsi yang seimbang dengan subbab lainnya, hubungan antarbagiannya pun kurang koheren. Dalam BIWP pada gambar 2 bertajuk Menanam Bakau (halaman 5) namun teks yang disajikan tidak menyinggung sama sekali tentang pohon bakau. Itu artinya gambar kurang fungsional, tutur pria yang pernah menjadi Ketua Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya ini. Sementara itu, Prof. Dr. Kisyani menyampaikan materi titipan Prof. Dr. Mahsun tentang kebijakan Badan Bahasa dalam penanganan masalah kebahasaan dan kesastraan dalam kurikulum 2013. Pemaparan materi itu dimulai dengan pernyataan bahwa Indonesia belum mampu mengindonesikan Indonesia melalui politik identitas. Pembelajaran bahasa Indonesia mengingkari esensi keberadaan BI sebagai identitas dan sarana ekspresi serta pengembang kemampuan berpikir manusia baru Indonesia. Lebih lanjut, materi Pak Mahsun menitiktekankan pada releksi hasil PISA (Programe International Student Assesment) yang menunjukan bahwa pada hasil penilaian 2011 lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu membaca pada level menengah, sementara itu siswa Taiwan mampu membaca pada tingkat tinggi dan mahir. Hal itu merefleksikan bahwa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan yang diujikan atau distandarkan secara internasional. Pembelajaran bahasa di negara lain menuntut keterampilan membaca sebagai sarana untuk memecahkan masalah yang memerlukan pemikiran. Selama ini pembelajaran BI tidak dijadikan sarana pembentuk pikiran padahal teks merupakan satuan bahasa yang memiliki struktur berpikir yang lengkap. Karena itu pembelajaran BI harus berbasis teks. Melalui teks maka peran BI sebagai penghela dan pengintegrasi ilmu lain dapat dicapai, paparnya seperti yang terdapat pada slide materinya. Usai mengikuti seminar itu, Wiwik Nurhayati, guru bahasa Indonesia di SMP Khadijah 2 Surabaya merasa lebih paham konsep pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks kurikulum 2013. Acara ini bagus, semoga akan sering diadakan forum-forum dikusi seperti ini meski dengan lingkup penyelenggaraan yang lebih sederhana yang penting materi subtansi keilmuannya dapat ditransfer, tuturnya. Pada akhir sesi panel 1 itu diluncurkan pula Majalah Pendidikan Bahasa Sastra Budaya Indonesia, Widyawara. Dalam pidato sambutannya Prof Kisyani berharap majalah yang lahir secara lokal ini dapat berkiprah secara nasional sehingga berbunga harum di tingkat regional dan global pada masa mendatang. Majalah ini diharapkan juga dapat menjadi laboratorium literasi sekaligus media komunikasi keilmuan guru dan peminat bahasa, sastra, serta budaya Indonesia. Kalau peminat sastra punya majalah Horison, maka guru bahasa Indonesia harus punya Widyawara sebagai majalah profesinya, ucap Eko Prasetyo, Redaktur Pelaksana Widyawara pada sesi sosialisasi Widyawara. (Rudi Umar Susanto/Byu)