Berani menolak demi kesehatan itu harus dibiasakan. Jangan ‘gak enakan’ yang berujung pada kebiasaan yang berisiko bagi kesehatan! Candu kadang tak seperti cinta, yang dari mata turun ke hati, tetapi juga bisa dari coba-coba lantas jadi kebiasaan yang mengakar. Jika sering ke toko kelontong, jangan lupa sesekali mampir ke Layanan Berhenti Merokok: 0800-177-6565. (Ilustrasi: Myriams-Fotos/pixabay.com)
Unesa.ac.id. SURABAYA—Pertanyaan mana yang lebih aman, rokok elektrik atau rokok biasa, menjadi perdebatan di masyarakat. Rokok elektrik sering dianggap sebagai alternatif lebih sehat, karena tidak menghasilkan asap seperti rokok konvensional. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa rokok elektrik membawa risiko kesehatan yang signifikan, termasuk diabetes, hipertensi, dan bahkan kematian mendadak.
Dosen Fakultas Kedokteran (FK)Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dr. Rahmantio Adi, Sp.PD, menjelaskan temuan dari beberapa penelitian yang membahas penggunaan rokok elektrik yang berhubungan dengan diabetes dan hipertensi.
Pertama, ‘Impact of Electronic Cigarette Use on the Increased Risk of Diabetes: The Korean Community Health Survey’ yang diterbitkan pada jurnal Epidemiology and Health. Jurnal itu menyebut perokok elektrik memiliki risiko diabetes 15% lebih tinggi dibandingkan non-perokok. Sebaliknya, perokok konvensional memiliki risiko lebih tinggi sebesar 22%.
"Lebih tinggi pada mereka yang dual smoker, atau pengguna kombinasi rokok elektrik dan konvensional, memiliki risiko tertinggi, yaitu 39% lebih besar dibandingkan non-perokok pada resiko diabetes," ungkapnya.
Dalam artikel lain, berjudul "An Updated Overview of E‑Cigarette Impact on Human Health" dalam jurnal "Respiratory Research" yang diterbitkan BioMed Center, menyebut asap aerosol yang dihasilkan rokok elektrik mengandung beberapa zat yang menimbulkan efek berbahaya salah satunya stres oksidatif.
Diabeter--Stroke
Sementara itu, artikel "The Impact of Reactive Oxygen Species in The Development of Cardiometabolic Disorders: A Review" dalam jurnal "Lipids Health and Diseases" yang diterbitkan oleh BioMedic Center, menjelaskan bagaimana stres oksidatif berdampak pada diabetes.
Stres oksidatif menyebabkan cedera pada sel endotel, menurunkan ekspresi enzim eNOS (endothelial nitric oxide synthase) dan produksi NO (nitric oxide). Penurunan NO ini menyebabkan aliran darah berkurang, sehingga menghambat pengambilan glukosa oleh sel.
Selain itu, stres oksidatif juga memicu fosforilasi serin pada IRS (insulin receptor substrate), yang mengganggu jalur pensinyalan insulin seperti PI3K/Akt dan GLUT4, yang berperan dalam pengambilan glukosa.
"Akibatnya, terjadi penurunan sensitivitas insulin di jaringan tubuh. Lebih lanjut, stres oksidatif meningkatkan kadar retinol-binding protein 4 (RBP4), yang memacu peningkatan produksi glukosa oleh hati, memperburuk resistensi insulin secara keseluruhan," lanjutnya.
Saat tubuh memiliki kondisi resistensi insulin, sel-sel tubuh seperti hepatosit, adiposit, dan monosit tidak merespons insulin dengan baik, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat.
Jurnal "Obesity and Insulin Resistance: An Abridged Molecular Correlation" yang pada jurnal "Sage Journal" menyebutkan, walaupun sel beta pankreas berusaha mengatasi gangguan ini dengan meningkatkan sekresi insulin, tubuh tetap mengalami hiperinsulinemia.
Seiring berjalannya waktu, sel beta pankreas yang memproduksi insulin mulai kehilangan fungsinya karena permintaan insulin yang terus meningkat. Pada beberapa individu yang mengalami resistensi insulin, tetapi tidak mengembangkan hiperglikemia, sel beta masih dapat memproduksi insulin, tetapi pada penderita diabetes tipe 2, kemampuan sel beta untuk merespons penurunan sensitivitas insulin berkurang.
Akibatnya, terjadi disfungsi sel beta yang menyebabkan intoleransi glukosa dan peningkatan kadar glukosa puasa yang mengarah pada diabetes tipe 2.
"Kadar asam lemak bebas yang tinggi akibat lipolisis berperan dalam kerusakan sel beta, menurunkan sekresi insulin, dan memperburuk kondisi resistensi insulin, yang akhirnya menyebabkan diabetes tipe 2," tambahnya.
Tak hanya diabetes, penggunaan rokok elektrik juga berpotensi bagi hipertensi. Artikel dengan judul "Cardiopulmonary Impact of Electronic Cigarettes and Vaping Products: A Scientific Statement From the American Heart Association" dari Jurnal American Heart Association menjelaskan, salah satu bahan rokok elektrik yakni nikotin, dapat memicu aktivasi sistem saraf simpatis.
Hal itu menyebabkan pelepasan hormon adrenalin yang meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. "Peningkatan tekanan darah yang terus-menerus menyebabkan hipertensi kronis, yang pada akhirnya meningkatkan risiko gagal jantung atau stroke," beber dosen FK itu.
Perokok Pasif juga Berisiko
Paparan aerosol rokok elektrik juga berbahaya bagi perokok pasif. Partikel kecil dari uap vape mengandung senyawa kimia yang dapat menyebabkan peradangan saluran pernapasan dan peningkatan risiko hipertensi bahkan pada orang yang tidak merokok.
Dalam kasus tertentu, paparan berulang dapat memicu kondisi fatal seperti gagal pernafasan akut atau kerusakan jantung mendadak, yang dikenal sebagai e-cigarette or vaping product use-associated lung injuryatau EVALI.
Lantas bagaimana dengan kandungan rokok elektrik tanpa nikotin? Dosen kelahiran Kota Pahlawan itu mengungkap walaupun tidak ada kandungan nikotin, tetapi terdapat dua kandungan utama yang sering ditemukan.
Dua kandungan tersebut mencakup propylene glycol (PG) dan vegetable glycerine (VG). Bahaya kedua kandungan itu dijelaskan dalam artikel dengan judul "Effects of Electronic Cigarette Constituents on the Human Lung: A Pilot Clinical Trial" dalam jurnal American Association for Cancer Research.
"Jurnal tersebut, mengungkap PG dan VG ini menyebabkan inflamasi. inflamasi yang disebutkan adalah reaksi tubuh terhadap paparan PG dan VG yang mungkin memicu iritasi di paru-paru. Reaksi ini terdeteksi melalui peningkatan sel dan mediator inflamasi dalam jaringan paru-paru," tambahnya.
Dokter Tio, sapaan akrabnya, menekankan pentingnya edukasi tentang bahaya rokok elektrik dan persepsi keliru bahwa vape adalah alternatif yang aman.
Berdasarkan penelitian yang disebutkan, satu-satunya cara untuk melindungi kesehatan adalah mengurangi aktivitas merokok pada semua bentuk rokok. Regulasi lebih ketat juga diperlukan untuk membatasi peredaran dan penggunaan rokok elektrik, terutama di kalangan remaja di bawah umur. (*)
***
Reporter: Muhammad Dian Purnama (FMIPA)
Editor: @zam*
Ilustrasi: Myriams-Fotos/pixabay.com
Share It On: