Dengan suara lantang, Abdul hadi WM, sastrawan sufistik Indonesia itu mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia harus dikembalikan sesuai tempatnya. Itulah kata kunci dari kuliah umum sastrawan yang juga ahli sufistik itu saat memberikan kuliah umum, Selasa (11/9/2012) di Auditorium FBS Kampus Ketintang Unesa. Kuliah umum yang dimulai pukul 13.00 itu disesaki oleh 400 mahasiswa. Turut hadir menjadi peserta adalah Prof. Dr. Budi Darma, dekan FBS, dan dosen-dosen Jurusan Bahasa Indonesia.
Bagi penikmat sastra, nama Abdul Hadi W.M. tentu sudah tidak asing lagi. Sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat ini dikenal melalui karya-karyanya yang bernapaskan sufistik. Untuk itu, kali ini, Abdul Hadi menyajikan topik kebudayaan, kekuasaan, dan krisis. Pemilihan topik ini dilatarbelakangi fakta empiris tentang krisis kebudayaan yang telah lama melanda kehidupan bangsa kita, entah itu budaya korupsi, budaya kekerasan, budaya nyontek, budaya ngamen, dan lain sebagainya.
Dalam kuliah umum yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut, Abdul Hadi merumuskan konsep kebudayaan. Menurutnya, hubungan manusia dengan kebudayaan seperti hubungan laba-laba dengan sarangnya. Manusia bergantung pada kebudayaan, dan kebudayaan bergantung pula pada manusia. Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya komunitas besar manusia yang hidup dalam suasana komunikatif. Jika manusia itu lalai, krisis kebudayaan bisa saja membayangi.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis kebudayaan suatu bangsa: motif ekonomi, politik, materialistik, arti kebudayaan yang dipersempit, terlepasnya budaya dari makna, serta penyeragaman budaya secara paksa, ungkap guru besar Universitas Paramadina Jakarta ini.
Di akhir kuliah umumnya, sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan Satyalancana dari Menkudpar ini sempat mengkritik masalah kebudayaan di Indonesia. Menurutnya, bangsa Indonesia selama ini kurang membanggakan kehebatannya di berbagai bidang, terutama di bidang sastra. Padahal jika ditelisik lebih dalam, sastra akan menempati posisi terbaik di masa yang akan datang mengingat kekosongan nilai yang mungkin saja terjadi. Kedua, bangsa Indonesia belum bisa mengurai perpecahan, entah itu antara tradisi dengan modern, nasional dengan daerah, nasionalis dengan islam, Jawa dengan luar Jawa, dan lain sebagainya. Apalagi di indonesia sekarang masih terjadi kontradiktif akibat kebijakan yang primordial.
Saat ditemui usai mengisi kuliah umum, Abdul Hadi menyatakan perlunya perenggangan bagi kebudayaan Indonesia terhadap budaya asing yang mempengaruhinya. "Kita tidak boleh begitu saja menerima kebudayaan baru," ujarnya. Namun, kita harus menyaringnya terlebih dahulu untuk membuat perbandingan baik buruknya. Abdul Hadi sempat pula berpesan pada mahasiswa Unesa agar selalu memupuk tradisi membaca. Tidak hanya di bidangnya, namun juga mahasiswa perlu berkutat pada referensi lain.
Ilmu yang sekarang didapat dari jurusan adalah ilmu pokok dan spesialisasi incaran. Tidak ada salahnya berilmu pada bidang yang kita incar, namun jika ilmu pokok ditinggalkan kita akan sulit mendapatkan apa yang kita incar, ujar pria kelahiran Sumenep, 24 Juni 66 tahun silam ini (Fauziah/Putri/syt).
Share It On: