Dua narasumber dari BNPT dan Unair menekankan bahwa pencegahan radikalisme tidak bisa dititikberatkan pada pemerintah saja, tetapi perlu kolaborasi semua pihak
Unesa.ac.id. SURABAYA--Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur bersama Universitas Negeri Surabaya (UNESA) melalui Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni (Mawal) dan Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Isu Strategis (PPIS) menggelar Talkshow Kebangsaan pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Talkshow dengan tema “Peran Gen Z dalam Mencegah Radikalisme dan Terorisme” ini dilaksanakan di Auditorium, Gedung Psikologi Kampus 2 Lidah Wetan. Wakil Rektor III Bidang Riset, Inovasi, Pemeringkatan, Publikasi dan Science Center UNESA, Bambang Sigit Widodo menuturkan bahwa untuk mencegah radikalisme dan terorisme diperlukan komitmen dan kolaborasi seluruh pihak.
“Tidak hanya bisa diserahkan kepada BNPT dan FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) saja, tetapi perlu gotong royong dengan Lembaga Pendidikan Tinggi,” ucap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) itu.
UNESA berkolaborasi dengan BNPT, begitu pula dengan FKPT, untuk bersama-sama mencegah tindakan intoleransi dan radikalisme yang kemudian bisa berujung pada aksi terorisme. Pria yang pernah memimpin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau Fisipol (sekarang Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum) itu secara resmi membuka talk show tersebut dengan tiga ketukan pelantang.
Wakil Rektor Bidang III memberikan penguatan urgensinya mahasiswa mengambil bagian dalam mencegah muncul dan berkembangnya paham radikalisme di kampus.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber, Mayor Jenderal TNI Roedy Widodo selaku Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, dan Listiyono Santoso, Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya (FBS) Universitas Airlangga. Sebagai pemandu kegiatan yaitu Silkania Swarizona.
Sebelum sesi materi, peserta disuguhkan tayangan perjuangan BNPT RI selama 14 tahun ini, intoleransi, kebencian, kekerasan, radikalisme dan terorisme menjadi sekelompok ancaman tahunan yang seringkali dibentengi. Ternyata, simbol-simbol dan ajaran keagamaan kerap dimanipulasi oleh oknum-oknum tertentu dengan maksud yang kurang terpuji.
Walaupun ancaman itu berpotensi muncul, sepanjang tahun 2023 hingga 2024, Indonesia dinyatakan Zero Terrorist Attack. Riset BNPT juga menemukan bahwa tren pola serangan terorisme berubah dari serangan terbuka (hard approach) menjadi serangan tertutup (soft approach) via media sosial.
Mempertahankan capaian bebas serangan terorisme di Indonesia, BNPT RI memberlakukan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) menurut Perpres No.7 Tahun 2021.
Wakil Rektor III UNESA menyerahkan cinderamata kepada narasumber.
Sebagai pemateri pertama, Mayor Jenderal TNI Roedy Widodo itu memperkenalkan 7 Program Prioritas tahun 2024 yang tertuang dalam RAN PE tersebut. Diantaranya terdapat program perlindungan perempuan, anak dan remaja, program pembentukan desa siap siaga, program pembentukan sekolah damai, dan program pembentukan kampus, hingga program kerja evaluatif lainnya.
Seiring berdirinya BNPT, lembaga ini telah memenuhi tugas pokok dalam penanggulangan terorisme yang dinilai berakar dari sikap intoleransi. “Hasil penelitian BNPT menunjukkan, dari keempat indikator yakni Toleransi, Intoleransi Pasif, Intoleransi Aktif, dan Intoleransi Terpapar, indikator toleransi masih terhitung 70 persen,” bebernya.
Angka ini mewakilkan status Indonesia yang masih tergolong aman dari ancaman terorisme. Namun, tercatat sejak tahun 2023 lalu, pola serangan terorisme diakui bertransisi ke dunia maya, berbeda dengan serangan sebelumnya yang lebih bersenjata.
Secara praktis, BNPT menyimpulkan aksi-aksi pencegahan ancaman radikalisme ke dalam strategi khusus yang bernama Pentahelix. Strategi ini meliputi kolaborasi dan sinergi multipihak, terutama guna membentuk kekuatan dalam memerangi ancaman radikalisme intoleran.
Pimpinan, narasumber, dosen dan mahasiswa selingkung UNESA dalam Talkshow Kebangsaan.
Listiyono Santoso mengungkapkan, kondisi rentannya Gen-Z terhadap penyebaran paham radikal akibat pemakaian gadget yang berlebihan. Parahnya, algoritma media sosial bahkan dapat memperparah paparan radikalisme tersebut. “Cara menyerap informasi-lah yang menjadi persoalan, karena kemampuan berpikir kritis mulai melemah,” nilainya.
Tidak ada upaya literasi terhadap konten-konten di dunia maya, apalagi memilah dan memilih informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika Gen-Z tidak waspada, maka mereka dapat terprovokasi dengan buah-buah pemikiran intoleran. Hal ini pada akhirnya juga bertentangan dengan amanah konstitusi Perguruan Tinggi, yakni untuk menanamkan nilai kebangsaan bagi mahasiswa. []
*
Reporter: Joy Nathanael (Fisipol), dan Saputra (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: